2006-04-01

VCD “SEKOLAH ITU HARUS”

DENGAN dukungan Yayasan Nissa, Meulaboh, Aceh dan Yayasan Papan (Pembela Petani dan Nelayan)-Meulaboh, telah dihasilkan sebuah karya media audiovidual yang melukiskan perjuangan Serikat Petani Pasundan (SPP) dalam menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak para anggotanya. Karya audiovisual VCD yang diproduksikan 2005 berdurasi 36’39” ini memaparkan kondisi para petani yang tak mampu membayar biaya pendidikan anak-anak mereka, terutama ketika mereka menginjak usia sekolah menengah. Padahal kita tahu semua bahwa program pendidikan dasar sembilan tahun (PDST) dari pihak pemerintah terus-menerus digencarkan, tapi toh tak bisa mengikutsertakan puluhan ribu anak petani miskin tak bertanah di berbagai lokasi di Indonesia.

Untuk tingkat kecamatan di wilayah-wilayah pedesaan di berbagai kabupaten di negeri kita ini masih langka tersedia sebuah sistem belajar yang memadai. Mungkin sudah ada satu sampai "lebih dari satu" sekolah dasar di suatu kecamatan, namun pada tahap berikutnya dalam jangkauan keluasan wilayah pedesaan yang tak sebanding dengan jumlah kependudukan, banyak anak akhirnya harus menempuh jarak yang begitu jauh untuk pergi ke dan pulang dari sekolah ketika mereka menginjak SMP. Berhadapan dengan tantangan medan yang berat, sangat banyak di antara mereka akhirnya “menyerah”, lebih baik tak sekolah saja.

“Angkutan desa jarang. Naik ojèg untuk pergi ke sekolah (SMP) di Banjarsari terlalu mahal,” kata ibu Dewi dari desa Pasawahan, Ciamis. dalam wawancaranya dengan para pembuat VCD ini. Jarak antara desa Pasawahan sampai Banjarsari kira-kira 10 km, naik turun perbukitan. Pak Soman dari desa Sindangasih, Tasikmalaya, dan juga mantan buruh tani di PTP XII Bagjanegara, Tasikmalaya menimpali, “Orangtuanya saja kelaparan, apalagi menyekolahkan anak. Kalau dipikir panjang, (petani) sengsara selamanya.” Di desa Dangiang, Garut, para orangtua (petani tak bertanah) sulit mendapatkan pekerjaan. Ribuan hektar tanah di Garut dikuasai oleh Perhutani yang didukung oleh operasi kekerasan anti-petani berjuluk "Wanalaga Lodaya". Ini belum terhitung tuan-tuan tanah yang menguasai ratusan hektar sehingga para petani tak kebagian harta karunia Tuhan itu. Keadaan ini terus berlangsung sampai sekarang. Malah lebih parah. Setelah harga BBM naik, akhir 2005, (baru) ditemukan catatan bahwa kurang lebih 10 ribu murid SD “drop out” setiap tahun. Keadaan sesungguhnya yang saat ini terus berlangsung mestinya jauh lebih parah lagi.

Itulah sebabnya, mengapa warga desa dan para petani kebanyakan hanya lulus SD dan gentar ketika berhadapan dengan tantangan zaman. Jika dihitung dengan cara tak teliti saja tapi tetap sahih, dapat dipastikan bahwa di desa-desa biaya transpor untuk anak-anak SMP pulang/pergi dari/ke sekolah menelan sampai sebesar 70 persen dari seluruh biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh orangtua petani. Jika sebuah keluarga petani di desa punya tiga orang anak, maka sudah sangat bersyukur kepada Tuhan yang Mahapemurah jika satu di antaranya bisa lulus SMP. Itu pun sudah dengan pengorbanan yang luar biasa. Maka, pertanyaannya: Dari mana duit itu dapat diperoleh? Dari ketiadaan tanah yang mereka miliki dan dari ketiadaan lahan yang mereka garap? “Yang benar aja!” begitu kata seorang pegiat pendidikan petani.

Video ini mengisahkan bagaimana warga petani SPP berjuang mendirikan sekolah dan menyelenggarakan proses belajar-mengajar. Barangkali ini hal biasa bagi banyak pegiat pendidikan. Tapi jika diingat keterpencilan lokasi dan tekanan ketakadilan sosial ekonomi yang menghimpit kehidupan sehari-hari para petani, alternatif berani sekolah anak petani ini bagaikan “wadi di padang gurun”. Sistem sekolah gratis ini tak hanya membangkitkan semangat dan harapan para petani, tapi juga para pendukung mereka di mana saja.

Sekarang sudah ada tiga SMP (Garut, Tasikmalaya, Ciamis) dan satu SD di Tasikmalaya. Guru-gurunya adalah para sukarelawan-pegiat-petani yang bersemangat dan meyakini visi jauh tentang perubahan sosial ekonomi dan politik di masa depan yang pasti tak akan sangat lama lagi akan kita jalani. Janji dan tekadnya: dalam waktu enam tahun setidaknya akan dihasilkan generasi petani yang baru, yang mampu bekerja dengan “daya saing” yang lebih tinggi: tekun, teliti, trampil dalam bidang pertanian, sekaligus berwawasan politik desa yang memadai. Bukankah untuk menjadi kepala desa sekarang ini setidaknya dituntut harus lulusan SMP (saja)? Diharapkan murid-murid sekolah petani ini nantinya menjadi para pemimpin masyarakat desa yang sejajar wibawanya dengan kepala-kepala desa, bahkan selayaknya ada di antara mereka yang lebih jauh lagi mencapai tingkat pamor sosial yang lebih tinggi. Dan itu sangat mungkin! Bayangkan, jika rentang luasnya tantangan geopolitik serikat petani ini sekarang sudah mencapai tiga kabupaten di kawasan Priangan Timur.

Mengingat semua tantangan zaman yang berat di mana dunia nyata ini dikuasai oleh para penguasa dan pengusaha yang tak peduli kepentingan rakyat, para petani itu serempak berpendapat: “... Belajar tidak dapat ditunda!”

Program video ini dikerjakan oleh sebuah tim yang terdiri dari empat lembaga: Serikat Petani Pasundan, Pergerakan: People-centered Advocacy Institute, Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Aktivitas Sosial (YP2AS, Bandung), dan Serikat Tani Bengkulu; Sutradara: Tommy Ch.; Musik: Jimmy Haryono; lagu tradisional berjudul “Pasawahan” diciptakan dan dinyanyikan oleh vokal siswa-siswi SMP Plus Pasawahan.**


Untuk mendapatkannya dapat menghubungi:
  • Haslinda, No. HP: (0817)-922 2930; Alamat: SMP Plus Pasawahan, Banjarsari, Ciamis 46383, Jawa Barat, Indonesia (alamat pos langsung)

  • 0 komentar: