2006-03-18

Gerakan Petani Dusun Ciècèng di Tasikmalaya

Herdi Mismuri & Prasetyohadi

BERIKUT ini adalah catatan urutan peristiwa gerakan petani dari warga dusun Ciècèng, desa Sindang Asih, kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Desember 1999 s.d. April 2003. Catatan ini merupakan bagian dari sebuah artikel yang diterbitkan oleh Perhimpunan Karsa, Yogyakarta, yang akan segera terbit tahun 2007 ini. Semula catatan ini berasal dari catatan lapangan disusun oleh Herdi Mismuri, seorang pegiat Forum Pemuda dan Mahasiswa untuk Rakyat (FPMR) dari Tasikmalaya.

1917
  • Sebelum tahun ini, areal ini adalah lahan garapan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat desa setempat.
  • Warga koloni Belanda, Klasen dan Suminden, datang untuk mengontrak tanah untuk menanam karet.
  • Kedua orang Belanda ini mendekati tokoh masyarakat setempat Ki Madsari, namun ditolak. Kemudian mereka mendekati Ki Madrapi, yang kemudian menyambut baik dan menyetujui rencana kontrak. Sejak itu lahan garapan warga setempat menjadi perkebunan karet milik Belanda.

1945

  • Paska kemerdekaan Indonesia, dan sebelum Belanda meninggalkan Indonesia, tanah itu diserahkan pada Pak Karto.
  • Perkebunan dibabat dan kembali dijadikan lahan garapan masyarakat, tapi dengan syarat harus membayar ongkos sewa dan pajak.

1950
  • Tuan Regen, seorang Belanda, mengambil kembali tanah itu.
  • Namun Indonesia menasionalisasikan lahan tersebut dan dibentuk Perkebunan Pemerintah Nasional (PPN), dan kemudian berganti lagi menjadi Perusahaan Nasional Perkebunan (PNP) dan kemudian sampai sekarang menjadi PTPN VIII Bagjanegara.

1984
  • Camat Cikatomas yang menjabat waktu itu mengeluarkan pernyataan yang membuat warga petani memiliki harapan untuk menggarap tanah perkebunan yang tak terurus itu: “Kalau tanah Hak Guna Usaha (HGU) diterlantarkan dalam jangka waktu 25 tahun, maka tanah tersebut kembali dikuasai negara. ... Dari keseluruhan tanah yang diklaim oleh PTPN Bagjanegara terdapat sekitar 20 hektar yang diterlantarkan.”

1985
  • Masyarakat menggarap tanah tersebut dengan persetujuan tak langsung dari Camat. Setelah satu masa panen dan hasil garapan mulai dapat dirasakan, warga petani setempat memohon tanah tersebut menjadi hak milik. Tapi permohonan ini tidak menghasilkan apa-apa. Camat berkata, tidak akan diberikan sama sekali, kapan pun.
  • Masyarakat tani tak merasa putus asa, dan terus menggarap tanah itu dengan tanaman kapuk, kopi, teh, padi, pisang, dll.
  • Pihak perkebunan melalui dua orang satpamnya membabat habis tanaman rakyat sampai terjadi bentrok fisik. Warga petani merasa sakit hati dan timbul semangat untuk berjuang mendapatkan tanah itu.
  • Selama bertahun-tahun setidaknya sejak beroperasinya PTPN VIII Bagjanegara kondisi kehidupan petani sangat tertekan dengan berbagai kesulitan ekonomi. Masyarakat menghidupi diri mereka secara subsisten dari hasil pertanian. Sering terjadi bencana kelaparan, meskipun tak ada yang sampai meninggal. Sebelum melakukan penguasaan tanah, penghasilan rata-rata para petani sangat minim, per hari Rp2.000; sementara tanggungan keluarga rata-rata empat orang. Warga petani rata-rata lulusan sekolah dasar dan putus sekolah. Sampai saat itu tidak ada sekolah dasar di dusun Cieceng. Lokasi terpencil. Jarak dari dusun ke jalan raya sejauh sembilan km. Keadaan jalan desa buruk. Tidak ada listrik. Sebanyak 98 kepala keluarga warga dusun Ciècèng tidak punya tanah sama sekali baik untuk pertanian maupun rumah. Sisanya umumnya punya tanah bercocok tanam 0,2 ha, dan rumah sederhana. Banyak yang lain memiliki rumah tapi tak layak.
  • Namun, di sisi lain, praktik kehidupan para karyawan dan mandor perkebunan sangatlah berbalikan, karena dipenuhi praktik manipulasi, penyelewengan, dan korupsi, yang sangat merugikan negara. Beberapa praktik korupsi para karyawan dan mandor perkebunan berikut ini telah membuat perusahaan negara itu menyengsarakan para buruhnya dan sebenarnya perusahaan itu sudah lama bangkrut.
  1. memanipulasi luas areal perkebunan; dalam sertifikat HGU dinyatakan seluas 348 hektar, sementara dalam monograf desa tercatat 625 hektar, padahal dalam perkiraan di lapangan luasnya mencapai lebih dari 1.000 hektar,
  2. dari tahun ke tahun perusahaan memperluas areal perkebunan ke lahan-lahan milik warga di sekitarnya,
  3. memanipulasi jenis tanaman yang diwajibkan diproduksi dalam sertifikat HGU; kira-kira 150 hektar lahan ditanami dengan pohon mahoni,
  4. memanipulasi laporan dan mencuri bahan bakar untuk generator listrik; dilaporkan bahwa listrik hanya dikonsumsi selama 24 jam sehari, padahal setiap harinya hanya dinyalakan selama enam jam,
  5. memanipulasi laporan jumlah hari kerja para buruh perkebunan. Dilaporkan bahwa para buruh bekerja selama 30 hari, padahal kenyataannya mereka hanya dipekerjakan selama enam hari dalam sebulan,
  6. mengupah para buruh 68% lebih rendah daripada ketentuan upah buruh regional,
  7. memotong besar upah buruh perempuan sebesar rata-rata 13% jika dibandingkan upah buruh laki-laki,
  8. mempekerjakan buruh anak-anak, dengan hanya mengganti ongkos kerja sebesar seperlima upah buruh normal.

Januari
Tgl 7
  • Kepala dusun Ciècèng bersama tokoh masyarakat lain mendesak Camat Cikatomas untuk memberikan tanah tersebut.
  • Camat mengantar masyarakat ke Kantor Agraria/BPN untuk mendapatkan kejelasan tentang status tanah.
  • Hasil kesepakatan:
  1. BPN melakukan pengukuran ulang
  2. Biaya pengukuran ditanggung warga dusun; setiap warga dipungut Rp5,-
  3. Kalau ada kelebihan luasan tanah wilayah HGU, maka tanah akan diserahkan warga dusun.
  • BPN hanya berjanji dan tidak melakukan pengukuran.

1997
  • Karena bosan dan jengkel, masyarakat nekad memperluas areal garapan dengan pertama-tama membabat tanaman perkebunan yang sudah tidak produktif lagi, hingga areal jadi 200 ha.
  • Timbul ketegangan, seorang pegawai PTPN dan seorang aparat pemerintah kecamatan Cikatomas datang dan berdialog dengan warga dusun di madrasah Curug Dèngdèng, dusun Ciècèng, dengan hasil kesepakatan:
  1. Masyarakat boleh menggarap tapi hanya untuk tanaman musiman (tumpang sari)
  2. Lahan tidak boleh untuk menggembalakan ternak.
  • Warga terpaksa menerima, tapi karena banyak punya hewan piaraan, mereka terpaksa sembunyi-sembunyi menggembalakan ternak di lahan sengketa sampai akhirnya pihak perkebunan mengetahuinya.

1999
Desember
  • Terjadi pemukulan terhadap warga. Seorang aparat keamanan perkebunan memukuli seorang ajengan terhormat di desa. Ajengan ini adalah salah seorang warga dusun yang kesehariannya menggembalakan kerbau di lahan yang diterlantarkan itu. Kerbau dibawa ke bedeng perkebunan.
  • Warga merasa dilecehkan, karena ajengan ini adalah salah seorang tokoh agama setempat, pengajar agama anak-anak, pemuka pengajian. Warga marah.
  • Warga membabat persemaian pohon mahoni milik perkebunan sampai habis.
  • Warga berkenalan dengan pendamping petani dan seorang koordinator OTL dari SPP dari desa yang bersebelahan. Petani tertarik untuk membentuk organisasi tani. SPP meminta warga dusun untuk datang belajar berorganisasi dari Forum Pemuda Mahasiswa untuk Rakyat (FPMR) di Tasikmalaya.
  • Warga dusun pulang untuk bermusyawarah apakah perlu membentuk organisasi dan bergabung dengan SPP. Tokoh masyarakat ini memutuskan perlu untuk berorganisasi dan bergabung dengan SPP.
  • Tokoh warga tani menyebarkan hasil musyawarah ke seluruh warda desa Sindang Asih (dusun Sinagar Kajar-Kajar, Cibogo, Jogjogan, Tanglar). Masyarakat menyambut antusias. Sebanyak 800 orang mendaftarkan diri menjadi pemohon jadi anggota.

2000
Januari
  • Warga dusun menghadiri acara halal bil halal SPP. Mereka mendapat informasi bahwa HGU PTPN Bagjanegara Blok Gedebong sudah habis 1997. Ini memotivasikan warga desa untuk mendesak BPN.
  • FPMR membantu memberikan pengarahan. Sekretaris Jenderal SPP ikut mendorong agar segera membentuk organisasi.
  • Pembentukan organisasi. Pemilihan koordinator, sekretaris, bendahara. Pekerjaan: mendata calon pemohon, menyusun kronologi kasus tanah, mengumpulkan KTP, dll. Pembagian kelompok menjadi 13: dusun Ciècèng enam kelompok (Karaminan, Leuwi Roke, Leuwi Roke 2, Curug Dèngdèng, Ciècèng 1 dan Ciècèng 2), dusun Tenjolaya 3 (Sinagar 1, Sinagar 2, Kajar-Kajar), dan satu lagi sejumlah 49 orang penggarap/pemohon yang berada di luar desa, yaitu dari dusun Pesanggrahan di tetangga desa Neglasari.
  • Penerapan sistem demokrasi dan musyawarah dalam mengambil keputusan, melibatkan kalangan uztads dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Pertemuan seminggu sekali, penentuan dana perjuangan berupa iuran wajib rutin Rp500/bulan atau satu cangkir gelas per anggota, di samping pemungutan sejumlah prosentase kecil dari hasil produksi (Rp10/kg singkong dan pisang), yang kemudian 50% diberikan kepada desa. Kadang-kadang menerima hibah. Untuk aksi ke Jakarta yang kadang-kadang dilakukan, anggota ditarik Rp20.000.
  • Strategi lain yang dikembangkan: aksi demonstrasi, lobby-lobby ke kalangan pemerintahan, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, kalangan masyarakat awam, mengadakan konferensi pers untuk membentuk opini publik lewat media massa.
  • Banyak dari antara mereka yang semula kontra sekarang mendukung.

February 20
  • Bertepatan dengan 16 Dzulqa`idah, 250 orang petani bersama dengan para pendamping dari FPMR dan dipimpin oleh Sekjen SPP mendatangi kantor DPRD II Tasikmalaya dengan naik empat buah truk, untuk menyampaikan tuntutan:
  1. HGU yang sudah habis tidak boleh diperpanjang lagi
  2. Hentikan segala bentuk kekerasan terhadap petani
  3. Berikan tanah untuk petani.
  • Petani diterima oleh Komisi A DPRD Tasikmalaya. Anggota komisi berjanji menyampaikan tuntutan “ke atas”. Aksi ini semakin meyakinkan semangat petani untuk berjuang mendapatkan tanah.

Maret
Tgl 1
  • 500 orang petani bersepakat untuk bersama-sama menebang pohon-pohon karet dan coklat, target waktu tiga hari, dalam luasan 500 hektar.
  • Petani membabat pohon-pohon karet dan coklat milik perkebunan.

Tgl 2
  • Polsek Cikatomas menangkap tujuh orang petani. Mereka dibawa ke kantor Polsek Cikatomas, lalu ke Mapolres Tasikmalaya. Berita penangkapan tersebar luas di desa.
  • 500 orang warga desa berkumpul untuk memusyawarahkan peristiwa itu. Keputusan:
  1. mengutus beberapa orang tokoh pergi ke FPMR untuk memberitahukan peristiwa penangkapan dan minta bantuan untuk mengeluarkan mereka yang ditahan dari polres,
  2. membalas penangkapan dengan melanjutkan penebangan pohon karet dan coklat.
  • Satu truk aparat Dalmas (Pengendali Masyarakat) dan tiga minibus dari Polres Tasikmalaya datang untuk menghentikan aksi penebangan. Para petani menolak, dan hampir terjadi bentrok fisik. Ketegangan dapat dilerai setelah ada dialog di antara petani dan aparat keamanan. Polisi berjanji bersedia melepaskan tujuh orang tahanan.

Tgl 4
  • Polisi melepaskan ketujuh orang petani yang ditahan.

Beberapa hari kemudian ..
  • Polres Tasikmalaya melayangkan dua tahap surat panggilan yang ditujukan kepada beberapa orang petani yang semula ditahan ditambah dengan beberapa petani lain. Mereka dijadikan saksi untuk perkara “pengrusakan barang milik orang lain.”
  • Para petani yang diundang mendatangi kantor Polres untuk memberikan keterangan tentang penebangan pohon-pohon di perkebunan tersebut.
  • Polisi menetapkan mereka menjadi “tersangka”.
  • Namun, para petani dan para pengacaranya mengajukan surat permintaan penangguhan penahanan. Permintaan dipenuhi. Petani pulang.

Tgl 11
  • Pimpinan SPP, FPMR bersama dengan beberapa orang delegasi yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, seluruhnya 20 orang, mengadakan dengar pendapat dengan pihak Polres Tasikmalaya. Dengar pendapat dilakukan di markas Polres Tasikmalaya, dihadiri Kapolres Makmun Saleh, pihak BPN, Dinas Perkebunan, DPRD Tasikmalaya. Dari dengar pendapat didapatkan simpulan bahwa (1) pihak perkebunan tidak dapat menunjukkan bukti pemilikan HGU, meskipun pihak perkebunan mengatakan HGU telah diperpanjang. (2) tidak akan dilakukan penangkapan petani, (3) semua aset perkebunan harus diambil keluar, termasuk semua pohon karet dan bangunan-bangunannya, dan (4) bahwa pihak Polres bersedia turun ke lapangan untuk berdialog untuk menegaskan hasil dengar pendapat. Namun para kenyataannya, pihak Polres tidak pernah datang ke area sengketa.
  • Dengan simpulan itu, para petani merasa yakin bahwa status tanah perkebunan sudah menjadi “tanah negara bebas” yang dapat digarap masyarakat. Maka para petani bersemangat mulai menggarap tanah tersebut dan membersihkan sisa-sisa aset perkebunan.

2001
Mei
Tgl 8
  • Sekretaris Serikat Buruh Perkebunan (SPBun) menyebarkan isyu di kalangan perkebunan, termasuk kepada wakil administrasi perkebunan, bahwa petani Ciècèng hendak membakar emplasmen (bèdèng) perkebunan.

Tgl 10
  • Sekretaris SPBun membawa sekitar 350 orang preman bayaran dengan menggunakan empat truk dan dua minibus milik PTPN VII Bagjanegara. Mereka datang dari berbagai arah mata angin, antara lain dari arah Nagrog Cipatujah, Gunung Cupu Salopa, PTPN VIII Banjarnegara, Bengkok Salopa. Di antaranya juga terdapat sejumlah 50 orang preman bayaran dari Pataruman Cihideung Tasikmalaya.
  • Sejumlah 15 orang polisi (kemudian diketahui dari Polsek Cikatomas, Salopa dan Cikalong) bersama dengan lima orang tentara dari Koramil Cikatomas.
  • Sesampainya di lokasi, mereka mengepung rumah milik seorang petani Ciècèng. Sebanyak 20 orang masuk ke rumah dengan mendobrak pintu. Mereka mendapatinya tengah berada di kamarnya. Mereka menyeretnya sambil memukulinya. Bibirnya sobek, mata kiri bengkak, memerah.
  • Kabar tentang penganiayaan tersebar di desa-desa pendukung SPP.
  • Sebanyak 300 orang anggota SPP berkumpul (tanpa komando) di jalan Opat (nama jalan yang terletak di perbatasan antara tanah yang diklaim perkebunan dan dusun Ciècèng) untuk berembuk menyikapi peristiwa penganiayaan itu. Di situ terdapat seorang aktivis mahasiswa FPMR. Keputusan: mereka tidak akan melakukan tindakan balasan sebelum berkoordinasi dengan pimpinan SPP. Mereka mengutus petani seorang warga Ciècèng bersama mahasiswa FPMR untuk menemui pimpinan SPP. Hasil rembug:
  1. merekomendasikan Koordinator FPMR untuk melaporkan peristiwa ini ke Mapolres Tasikmalaya
  2. merekomendasikan FPMR untuk melakukan konferensi media
  3. mengutus pegiat FPMR untuk melakukan investigasi sekaligus mengendalikan situasi, menemui korban untuk dibawa ke RSU Tasikmalaya untuk didapatkan fisumnya dan memberikan keterangan kepada Polres Tasikmalaya.

Tgl 11
  • Dua pegiat FPMR berangkat naik sepeda motor. Langsung menuju rumah korban. Kondisinya parah. Korban kemudian dibawa ke RS Tasikmalaya bersama istri dan ibunya.
  • Kedua pegiat FPMR menemui tokoh masyarakat Ciècèng, koordinator dan pengurus SPP di rumah salah seorang pemuka masyarakat petani setempat di kompleks pesantren Darul Hikam. Hasil pemahaman:
  1. Akibat peristiwa itu, nama organisasi SPP menjadi bahan pergunjingan masyarakat, terutama mereka yang melawan perjuangan petani. Tak sedikit di antara mereka menuduh SPP sebagai “PKI, DI, anarkhis”, dsb.
  2. Setelah hampir semua warga dusun Ciècèng sudah meninggalkan kampungnya untuk mengamankan diri. Ada yang ke kota-kota, tapi lebih banyak yang bersembunyi di hutan-hutan di sekitar kampung. Situasi dinyatakan “tidak aman”.
  3. Warga petani tetap tidak akan melakukan perlawanan apa pun selama pihak perkebunan belum melakukan tindakan-tindakan yang dianggap sangat merugikan warga petani.
  • 15 orang preman dan lima orang polisi menyita kayu-kayu bahan bangunan, alat-alat pertanian (cangkul, sabit) serta peralatan dapur (piring, sendok, dlsb.).
  • Dirasakan oleh para pegiat FPMR bahwa tindakan penangkapan membuat warga petani merasa terpukul dan mereka membuat penguatan semangat. Dalam masa-masa sangat sulit yang kurang lebih berlangsung selama tiga bulan, para pegiat FPMR melakukan konsolidasi menemui para petani yang berada ke lokasi-lokasi mengamankan diri. Mereka saling terpisah satu sama lain dan tidak bisa saling berkomunikasi, terutama di hutan-hutan. Para pegiat FPMR bersama dengan para petani berupaya mengatur strategi bagaimana dapat melawan penekanan-penekanan itu, misalnya:
  1. para pegiat FPMR berusaha mempelajari dan mengkaji medan lokasi sengketa yang berbukit-bukit dan sulit dicapai
  2. mendatangkan orang-orang dari luar yang memiliki kemampuan menjalankan strategi pertahanan dan menggali kekuatan supranatural untuk mengangkat semangat para petani.
  3. para petani sendiri berusaha mencari bantuan kekuatan supranatural dari tempat-tempat lain.

Tgl 12
  • Kepala desa Sindang Asih mengundang warga petani untuk membicarakan rencana acara musyawarah yang akan dihadiri oleh Bupati Tasikmalaya Tatang Farhanul Hakim. Rapat desa memutuskan warga petani akan memenuhi undangan tersebut.
  • Sementara itu, 30 orang preman dan aparat kepolisian melakukan sweeping dan penangkapan terhadap tujuh orang warga petani SPP/Ciècèng.
  • Proses sweeping dan penangkapan:
  1. menghadang di jalan dan menangkap tiga orang tokoh warga petani Ciècèng dan ditahan di mapolsek Cikatomas
  2. melakukan sweeping di kampung Karamian dan secara tidak sopan masuk ke dalam kompleks pesantren Darul Hikam.
  • menggeledah enam buah rumah; mereka mengobrak-abrik isi rumah,
  • mendobrak pintu masjid, masuk ke dalam masjid tanpa membuka sepatu, menendang mimbar, tempat al-Qur’an, dan kitab-kitab, sehingga berantakan,
  • mendobrak asrama putra dan putri,
  • mengancam menyandera anak usia tujuh tahun, anak dari seorang ajengan, sebagai jaminan.

Tgl 13
  • Sejumlah 15 orang polisi datang kembali ke lokasi pemukiman warga petani.
  1. Mereka menghancurkan 1.400 genting rumah yang siap dipakai milik dari salah seorang warga Ciècèng,
  2. membabat tanaman pisang, kelapa, dan merusak saung milik tiga orang warga dusun; areal yang dibabat mencapai 2,5 hektar,
  3. turun ke kampung dan mengobrak-abrik rumah-rumah penduduk.

Tgl 14
  • 15 orang polisi dan preman beramai-ramai datang lagi ke pemukiman warga
  1. membakar saung milik empat orang warga dusun
  2. menemukan seseorang lain dari warga dusun di tengah jalan, lalu mengejarnya dan menembakkan senjata beberapa kali ke atas, tapi ia berhasil lolos dan masuk ke hutan.
  • Sejumlah 20 warga terkemuka di antara para petani dan beberapa pegiat FPMR melakukan gelar musyawarah. Hasil kesepakatan:
  1. Masyarakat tidak lagi akan mengalah, karena tindakan polisi dan preman sudah dinilai keterlaluan.
  2. Menyatakan seruan jihad melawan segala tindakan biadab dari perkebunan.
  • Warga petani bersiap-siap dengan mengkoordinasikan hasil keputusan kepada seluruh anggota SPP
  • Bupati Tasikmalaya datang dan dialog diadakan dengan warga petani di bèdèng perkebunan. Pihak lain yang hadir: Kapolres Tasikmalaya, Camat Cikatomas, Kades Sindang Asih dan pejabat perkebunan. Hasil dialog:
- Sikap bupati:
• tanah sengketa itu masih bagian dari HGU perkebunan. Maka masyarakat tidak bisa memilikinya.
• warga petani tak bisa mengambil langsung tanah ini. Harus lewat “prosedur” hukum.
• mempersilakan pihak perkebunan membabat tanaman petani, karena tanaman itu dianggapnya “liar”.
• tak menyinggung sedikit pun adanya 350 preman perkebunan dan aparat polisi yang melakukan kekerasan terhadap petani.

- Sikap kapolres:
• biang masalah di dusun Ciècèng adalah Sekjen SPP cs. dan empat orang tokoh masyarakat setempat,
• akan terus mengejar siapa pun yang telah diadukan oleh pihak perkebunan dalam kasus penebangan,
• meminta saksi pihak perkebunan untuk memroses lebih lanjut tersangka yang telah ditangkap,
• menghimbau perkebunan untuk menyertakan saksi dan bukti (foto) ketika mengadukan masalah penebangan tanaman perkebunan.
• Perkebunan menginstruksikan preman dan polisi untuk:
- membabat habis tanaman petani karena sudah ada ijin dari bupati,
- membakar semua saung warga petani,
- menangkap seorang warga desa Sindang Asih yang ikut dalam gerakan tani dusun Ciècèng, dan menganiayanya; peristiwa terjadi di tetangga dusun Tanglar,
- menutup akses keluar-masuk dusun Ciècèng; kegiatan ekonomi lumpuh total.

Tgl 15
  • Polisi dan preman kembali melakukan sweeping kekerasan (pkl16:00). Mereka menangkap dan menggelandang enam orang anggota SPP/warga Ciècèng. Mereka juga dianiaya oleh para polisi dan preman. Dalam proses penangkapan mereka juga melakukan tindak kekerasan di beberapa dusun. Berikut ini detilnya.
- Dusun Sinagar:
• Menganiaya seorang perempuan (38), warga dusun Sinagar, mengakibatkan luka memar di muka dan nyeri di sekitar rahang; ibu ini mengalami shock.

- RT Karamian:
• Melempari batu rumah seorang pemuka petani setempat; akibatnya semua kaca rumah pecah, dinding anyaman bambu disobek-sobek,
• Membakar sepeda motor,
• Membakar 16 saung huma,
• Merusak tanaman kapiol, pisang dan kelapa,
• Mengacak-acak dua kolam ikan milik dua orang warga dusun,
• Merampok ikan-ikan di dalam kedua kolam,
• Merusak pipa-pipa aliran air bersih.

- RT Curug Dèngdèng:
• Mengancam anak bapak kepala dusun (sebagai sasaran utama mereka) hendak memukul, jika tidak memberitahukan tempat persembunyian ayahnya,
• Melempar batu rumah kepala dusun, semua kaca pecah, dinding anyaman bambu diacak-acak.

- RT Leuwi Roke:
• Mengancam istri tokoh petani setempat dan mengalunginya dengan clurit; mengancam akan memperkosa kalau tak menyebutkan tempat persembunyian suaminya. Ketika terjadi, ada keempat anak keluarga itu dan dua orang tamu.
• Preman lain mengacung-acungkan golok, memegang seekor ayam, dan membacoknya, sambil mengujarkan kata-kata ancaman yang kasar.
• Melempar rumah dengan batu hingga semua kaca pecah.

Tgl 17
  • Polisi dan preman berusaha menangkap tokoh petani setempat yang sedang mengamankan diri dengan cara mengancam istrinya dengan ujaran hendak membakar rumah.
  • (intimidasi) Perkebunan menyebarluaskan segel/formulir yang dipaksakan harus diisi dan ditandatangani oleh warga petani anggota SPP bahwa mereka telah keluar dari keanggotaannya dari organisasi petani tersebut.

Tgl 18
  • Polisi dan preman melanjutkan aksi sweeping kekerasan. Mereka menangkap dua orang warga petani, lalu menyeret mereka ke Mapolres Tasikmalaya.
  • Dalam masa penggeledahan itu tercatat 36 orang petani ditangkap namun sebagian mereka dikeluarkan dengan status tahanan luar, dan 16 orang tetap ditahan sampai ke proses persidangan.
  • Penyidangan dan pemenjaraan terhadap 12 orang petani, masing-masing selama 3,5 bulan dan 14 orang di vonis dengan empat bulan penjara.
  • Para tokoh petani yang masih di luar dan telah pulang ke dusun dari tempat mengamankan diri memutuskan untuk bertekad melawan.

Tgl 22
  • Terjadi bentrok fisik. Sejumlah 200 orang polisi dan preman mengepung dusun dari empat arah. Masing-masing dipimpin oleh dua orang polisi. Warga petani SPP berjumlah hanya 30 orang, di bawah komando dua orang pegiat dari FPMR. Pihak petani memenangkan bentrok itu. Ada 3 orang “musuh” yang terpaksa ditandu: seorang pensiunan tentara, seorang preman, seorang karyawan perkebunan. Preman dan polisi menyerah. Warga petani merampas dan mengamankan semua persenjataan mereka, berupa golok, samurai, peluru, sebuah alat komunikasi. Warga petani juga menahan KTP dari mereka yang tertangkap.
  • Sekjen SPP menyerahkan peluru dan alat komunikasi handy-talky ke Polwil Priangan sebagai barang bukti pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia/petani yang dilakukan oleh aparat keamanan polisi.

Selang hari ..
  • Sesama petani dari organisasi petani lain dari desa Nagrog di lingkaran SPP menyatakan rasa solidaritas dengan cara ikut berpatroli selama satu hari satu malam untuk menjaga keamanan.

Tgl 27
  • Sementara di lapangan terus terjadi penggeledahan dan penangkapan. Sejumlah 12 orang petani diaspora Ciècèng disertai oleh 24 truk warga petani dari kabupaten lain yaitu Garut, Ciamis dan Taiskmalaya, mendatangi kantor gubernur dan DPRD dan Polda Jawa Barat. Mereka mendesak para pihak pemerintah untuk menghentikan tindakan brutal penggeledah¬an dan penangkapan yang terus dilakukan di dusun Ciècèng. Seperti biasanya, para pihak tersebut berjanji menindaklanjuti tuntutan para petani.

Tgl 29
  • Namun, kekerasan masih berlanjut. Sejumlah 40 orang preman dan polisi menangkap seorang petani dan anaknya yang telah dewasa dari dusun Tenjolaya, serta seorang lain dari warga RT Curug Dengdeng di dusun Ciècèng. Mereka ditahan dua hari di mapolsek Cikatomas. Seorang kemudian dilepaskan. Tapi, dua orang lain ditahan lebih lanjut di mapolres Tasikmalaya.
  • Taksiran kerugian yang diderita warga petani dari seluruh tindakan sweeping penangkapan dengan kekerasan: Rp200juta.

Selang hari lain ..
  • Perkebunan menarik pasukan.
  • Warga petani yakin pemerintah/perangkat hukum polisi tidak dapat bersikap adil terhadap masyarakat. Pemerintah justru menjadi pelaku pelanggaran hukum mereka sendiri. Pemerintah justru bersikap pura-pura tidak tahu.

Selang beberapa saat (1½ bulan)

Juli
  • Dua orang karyawan perkebunan disiksa oleh warga petani, karena tertangkap ketika mereka masuk ke wilayah sengketa tanpa meminta izin terlebih dahulu.
  • Sementara itu, warga petani melanjutkan penebangan dan telah mencapai sekitar 80 persen dari seluruh luas perkebunan, walaupun baru 40 persen saja yang telah digarap secara produktif.

Agustus
Tgl 15
  • Pihak perkebunan, atas usul dari LSM Forum Lintas Pelaku, mengajukan perjanjian damai yang disebut dengan “islah” dengan SPP. Islah difasilitasi oleh Pemda Tasikmalaya dan dilakukan di ruang rapat bupati Tasikmalaya. Pihak SPP bersedia menerima tawaran islah ini, karena SPP menghargai niat baik atau tawaran perdamaian dari pihak perkebunan.
  • Isi islah di antaranya adalah:
  1. pihak warga petani “berjanji tidak akan mengadakan tindakan yang pada dasarnya merupakan perbuatan untuk menambah luas penguasaan tanah garapan ...”
  2. “sementara menunggu kepastian status kepemilikan tanah dari BPN, masing-masing pihak tetap melakukan kegiatan-kegiatan masing-masing sehari-hari ... tanpa mengganggu satu terhadap yang lain ...”
  3. persetujuan nota kesepakatan pelaksanaan pengamanan bersama lokasi sengketa.
  • Perjanjian damai ditandatangani oleh Sekjen SPP dan pihak tokoh petani diwakili oleh empat orang petani. Pihak PTPN VIII Bagjanegara diwakili oleh Nono Sutaksono. Saksi yang ikut menandatangani adalah Rahmat Kurnia mewakili bupati Tasikmalaya, Ketua DPRD Tasikmalaya Heri Hendriana, Ketua Pengadilan Negeri Tasikmalaya Sopyan Yahya, Kapolres Tasikmalaya diwakili Saepul Hidyata, Ketua Serikat Buruh Perkebunan (SPBun) M. Effendi, Kades Sindang Asih Nana, Tim Pembela para terdakwa Agus Rajasa Sidari SH, dan Ketua Forum Lintas Pelaku Sukapura Eri.
  • Setelah islah disepakati, petani semakin bersemangat (dalam proses waktu selama sekitar delapan bulan). Mereka kembali aktif.
  1. menggarap dan menduduki lahan,
  2. mendirikan rumah-rumah hingga terbentuk perkampungan baru yang menempati beberapa blok. Antara lain: Jalan Lima, Datar, Cipaku, Jogjogan, Gunung Batu, Sinagar. Sebanyak 20 rumah sudah dibangun.
  3. Semua pihak (petani, perkebunan, muspika kecamatan (polsek, MUI, koramil), LSM pendukung PTPN VIII Bagjanegara Forum Lintas Pelaku (FLP) mengadakan “syukuran” atas tercapainya “nota kesepatan” (islah); saling memaafkan, acara makan bersama. Yang paling penting dari acara ini adalah bahwa telah dilakukan sosialisasi dari nota kesepakatan untuk pihak-pihak berkonflik yang tinggal di sekitar lokasi konflik.
  • Perkembangan ini rupanya memancing kemarahan pihak perkebunan.


2002
Maret
Tgl 7
  • (13:00) Pihak perkebunan dengan membonceng satgas PDI-P mengintimidasi warga petani dengan menggunakan satu unit mobile HiLine. Mereka mendatangi warga petani yang sedang menggarap lahan. Warga petani menghadang balik mereka, hingga hampir terjadi bentrok fisik. Tokoh-tokoh masyarakat berusaha melerai. Satgas PDI-P tidak melakukan perlawanan dan pergi meninggalkan lokasi. Warga petani sempat mengidentifikasi tujuh orang di antara mereka.

April
Tgl 30
  • Massa sejumlah 900 orang, yang diangkut oleh pihak perkebunan dengan tujuh buah truk dan tiga mobil mini. Aksi yang dilakukan:
  1. masuk ke lahan sengketa,
  2. membabat tanaman milik warga petani di blok Sunubana,
  3. membakar rumah-rumah yang berada di sekitar blok tersebut.
  • Sejumlah 70 orang warga petani menghadang gerombolan tersebut di ujung Blok Lima di mana telah dibangun pemukiman baru.
  1. Bentrok fisik terjadi,
  2. Warga petani membakar mobil yang dipakai oleh gerombolan perkebunan.
  • Gerombolan massa kocar-kacir. Tidak ada korban jiwa. Korban luka-luka dari antara gerombolan perkebunan mencapai puluhan orang.
  • Segera diberitakan di antara jaringan SPP di Garut, Tasikmalaya, Ciamis. Bantuan solidaritas untuk memperkuat keamanan lokasi reklaiming datang dari warga petani Cikupa, Cikaso, Bangun Karya, dsb.
  • Polres Tasikmalaya menahan empat orang warga petani. Tapi status mereka adalah tahanan luar sebagai tersangka perusakan dan pembakaran mobil.
  • Proses pembuatan berita acara pidana di polres Tasikmalaya, pelimpahan ke kejaksaan Tasikmalaya, sampai persidangan di PN Tasikmalaya berlangsung selama kira-kira satu tahun. Persidangan di pengadilan dilakukan sampai 18 kali. Setiap kali diselenggarakan persidangan tersebut, warga petani Ciècèng melakukan aksi solidaritas dengan menghadiri proses penyidangan di pengadilan, terutama untuk sidang penuntutan para petani dari pihak kejaksaan dan sidang pemeriksaan saksi yang memberatkan para petani serta saat penjatuhan vonis. Aksi besar yang dihadiri oleh sebanyak 3.600 orang dengan menumpang 60 truk digelar pada setiap momen proses hukum tersebut. Para peserta aksi berasal dari tiga kabupaten di Priangan Timur, yaitu Tasikmalaya, Garut dan Ciamis.
  • Semua petani yang disidangkan divonis bebas oleh majelis hakim. Warga petani memandang peristiwa ini sebagai kemenangan dan kemudian mereka diarak sebagai “pemenang telak” dalam proses pencarian kebenaran hukum.
  • Sejak saat itu situasi di areal sengketa aman.

2003
Bulan-bulan awal
  • Warga petani terus melanjutkan penggarapan dan pengelolaan lahan pertanian. Pada masa ini persoalan penataan lahan menjadi prioritas yang harus segera dibereskan. Dalam musyawarah warga petani membahas dan mengambil kesepakatan dalam (1) tata guna lahan, (2) distribusi lahan untuk para anggota, (3) pengaturan produksi pertanian, terutama persoalan prosentase yang hendak diserahkan kepada pemerintah desa dan untuk organisasi petani. Untuk tanaman ketela pohon dan pisang, dua tanaman yang umumnya ditanam di area Ciècèng, petani harus menyerahkan Rp 10/kg. Untuk kayu yang ditebang, petani harus membayar Rp 5.000. Sementara itu, untuk retribusi tanah harus dibayar Rp10.000 per hektar kepada pemerintah desa.
  • Untuk tata guna lahan, disepakati bersama bahwa areal tanah dimanfaatkan untuk (1) konservasi, (2) lahan kolektif, (3) sarana-sarana umum, di antaranya untuk sekolah, lapangan olahraga, jalan, makam, dsb., (4) lahan pertanian produktif, (5) pemukiman.
  • Pada akhir tahun 2003, setidak-tidaknya tanah garapan telah menghasilkan panen, terutama pisang dan singkong. Dari hasil panen, lebih dari Rp 6 juta telah disumbangkan oleh warga petani kepada pemerintahan desa. Warga desa berharap dengan sumbangan tersebut pemerintah desa bersedia menetapkan “peraturan desa” untuk memberikan legitimasi awal terhadap tanah garapan warga petani.
2004

  • Dalam upaya memperjuangkan pembaruan agraria warga petani Ciècèng memasuki arena politik desa dengan ikut serta dalam pesta demokrasi pilkades pasca berakhirnya masa jabatan kepala desa yang lama. Mereka mengajukan tokoh organisasi SPP Ciècèng sekaligus kepala dusun Ciècèng menjadi kepala desa yang akhirnya walaupun dengan selisih suara tipis pak tatang dapat duduk menjadi kepala desa Sindang Asih. Setelah sebelumnya SPP merebut lembaga legislatif desa (BPD).
  • Semenjak lembaga politik desa berhasil direbut, kondisi baik sosial politik ekonomi maupun pendidikan di desa Sindang Asih mengalami peningkatan walaupun tidak sedikit pula tantangan dan hambatan-hambatan yang dihadapi, misalnya lahirnya dua OTL baru yaitu dari desa tetangga Neglasari dan dusun Kajar-kajar (di dalam desa Sindang Asih).
  • Kemudian masyarakat di wilayah lain di dalam maupun di luar desa desa Sindang Asih, misalnya desa tetangga Neglasari mulai menaruh simpati terhadap perjuangan petani Ciècèng.
  1. - Untuk desa tetangga Neglasari, warga desa tersebut tertarik untuk membentuk OTL karena melihat relatif pesatnya perkembangan ekonomi dari warga desa Sindang Asih, terutama Ciècèng.
  2. - Di dalam desa Sindang Asih sendiri sebenarnya masih ada beberapa dusun lain yang semula malah ikut menyerang warga Ciècèng. Tetapi karena tindakan pelayanan dan usaha-usaha sosialisasi yang dilakukan kepala desa baru baik dalam sambutan-sambutannya ketika berkunjung dan menghadiri berbagai acara desa, warga dusun lain mulai berubah sikap. Sebagai contoh selama ini program pemerintah untuk menjual beras murah (raskin) tidak pernah sampai mencapai sasaran orang miskin di pedesaan. Namun, dengan sepengetahuan warga dusun Ciècèng, beras murah didistribusikan kepada dusun-dusun tersebut. Dalam sambutan-sambutannya kepala desa terpilih dirasakan memiliki kepribadian yang tegas, adil, ulet. Hal ini sangat berpengaruh positif warga desa seluruhnya.
  3. Untuk menghilangkan stigma negatif terhadap warga petani SPP, ditegaskan kepada warga tetangga dusun dan desa bahwa dusun Ciècèng tetap terbuka untuk kegiatan ekonomi.
  • Kepala desa baru menetapkan “peraturan desa” yang menegaskan bahwa tanah garapan dari eks-perkebunan dikelola oleh warga Ciècèng.
  • Hal lain yang sifatnya memperkuat komunitas warga desa adalah pendirian sekolah formal yaitu madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah Darul Hikmah.

Juni
  • Pendidikan anak-anak dirasakan sangat diperlukan oleh para warga petani di Ciècèng. Sekolah dan proses belajar-mengajar mulai diselenggarakan. Ada beberapa alasan mengapa sekolah untuk anak-anak haruslah segera diselenggarakan, apa pun bentuknya.
  1. Dibutuhkan suatu usaha pendidikan yang baik yang dapat mempersiapkan kader-kader petani yang nantinya mampu memperkuat organisasi tani di dusun ini; agar anak-anak lebih mencintai dan membangun desanya dan tidak pergi ke kota karena terseret arus urbanisasi
  2. SD Negeri Gunungsugih yang terletak di dalam dusun ini sudah bangkrut sejak 2000.
  3. Lokasi sekolah dasar lain yang terdekat berada Madrasah Ibtidaiyah Cikarees, kabupaten Ciamis dan SD Negeri di desa tetangga Harum Mandala, kecamatan Cigugur, kabupaten Ciamis. Untuk anak-anak usia SD jarak kedua sekolah tersebut sangat jauh, mencapai 4 km, dan hanya bisa dicapai dengan jalan kaki. Di musim hujan anak-anak tak bisa sekolah, karena harus menyeberang sungai Ciharuman yang biasanya meluap.

  • Namun penyelenggaraan sekolah ini dipersulit oleh pemerintah. Pemerintah tidak memberikan pengakuan legal untuk sekolah ini, karena (1) mereka mengetahui para pendiri sekolah ini adalah anggota-anggota SPP, (2) letak sekolah tersebut berada di dalam areal sengketa.
  • Guru-guru diambil dari antara para petani dewasa, ulama, dan beberapa mahasiswa yang selama ini menjadi penggiat FPMR. Mereka bekerja sebagai relawan yang sebelumnya mengikuti pendidikan lewat seminar dan lokakarya-lokakarya serta studi banding ke sekolah-sekolah lain.
  • Pendirian sekolah ini direncanakan dan dimusyawarahkan bersama dengan para warga petani. Salah satu peran serta yang sangat menentukan adalah bahwa sekolah ini dibangun dengan biaya dari iuran swadaya warga organisasi tani Ciècèng.

2005

  • Banyak terjadi peningkatan dibandingkan dengan keadaan sebelum reklaiming. Memang belum ada sensus ekonomi di desa, tetapi daya beli warga desa meningkat. Sebelum reklaiming setiap dusun hanya memiliki sekitar 15 ekor kerbau, 25 ekor kambing. Sekarang mereka telah memiliki 200 kerbau atau sapi, sekitar 1.000 ekor kambing. Sebelum reklaiming hanya terdapat sekitar puluhan sepeda motor, tapi sekarang ratusan. Sekarang di antara warga Ciècèng telah memiliki dua unit truk, satu buah jeep Toyota bekas. Beberapa warga petani telah mampu membangun instalasi generator listrik bertenaga sampai 3.000 watt untuk penerangan dan kepentingan hidup sehari-hari lainnya; beberapa orang telah mampu membeli mesin giling gabah; pembangunan pabrik pembuatan tepung tapioka, memperbesar omset pembuatan kripik pisang dan selai pisang, banyak ibu rumah tangga membuka warung kelontong kecil.
  • Namun, pihak perkebunan rupanya masih terus melakukan usaha-usaha untuk merebut kembali lahan garapan petani itu. Di antaranya:
  1. Menunggangi pemerintah kecamatan (muspika) dan para kepala desa lain di kecamatan untuk menekan kepala desa Sindang Asih agar para petani SPP penggarap menyerahkan lahannya ke perkebunan
  2. Meneror kepala desa dengan cara mengirimkan surat pernyataan bahwa HGU perkebunan telah diperpanjang dan mendesak kepala desa untuk membuktikan pernyataannya bahwa perpanjangan HGU tersebut cacat hukum.
  3. Mengancam seluruh warga desa lewat kepala desa bahwa perkebunan akan nekad menanam bibit pohon karet.***

0 komentar: