KONFLIK tanah di desa Cibenda, kecamatan Parigi, kabupaten Ciamis, Jawa Barat yang terutama terjadi dalam rentang waktu empat tahun antara 1998 sampai 2001 adalah kasus pertama yang ditangani oleh SPP di kabupaten ini. Kawasan kabupaten bagian tenggara provinsi Jawa Barat ini semula relatif tenang dengan suasana pedesaan selama masa kekuasaan Orde Baru. Namun setelah tergelar keterbukaan politik pasca perubahan situasi politik nasional dengan turunnya Soeharto sebagai presiden republik, tiba-tiba para petani dari desa Cibenda bersama dengan para pendamping mereka yaitu para mahasiswa yang tergabung dalam Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (Farmaci) disadarkan oleh adanya kasus penyerobotan tanah yang sangat menyakitkan hati rakyat. Rakyat petani dikorbankan. Masyarakat tergugah untuk menuntut hak-haknya. Kasus ini menggelindingkan gerakan tani di kabupaten Ciamis, karena kemudian kasus ini dapat menarik banyak petani yang telah diperlakukan tak adil di berbagai desa di kabupaten ini untuk ikut serta dalam perjuangan pembaruan agraria baik di kabupaten ini sendiri, di tingkat provinsi dan bahkan tingkat nasional.
Apa yang sebenarnya terjadi di desa Cibenda?
Konflik tanah di sebuah desa di pinggir pantai Samudra Hindia ini sudah bermula sejak 1992. Pada suatu pagi ketika para penggarap pergi menuju ke areal tanah, mereka tiba-tiba menyadari lahan-lahan mereka telah dipasang patok-patok beton bertuliskan “BPN” (Badan Pertanahan Negara). Tentunya kegiatan pematokan dilakukan pada malam hari sebelumnya. Secara individual para warga penggarap langsung mempertanyakannya kepada pihak pemerintahan desa. Namun, karena tekanan kepada pihak pemerintah sifatnya masih individual dan terpisah-pisah, perjuangan awal ini tidak menghasilkan perubahan sikap apa pun dari pihak yang berwajib.
Pada kali lain, dan kejadian ini lebih terasa menyakitkan hati, suatu hari pada tahun 1992 itu juga tiba-tiba sejumlah 30 orang pejabat dan aparat pemerintah dari tingkat paling rendah di desa sampai eselon atas di tingkat kabupaten berombongan datang melakukan pengambilalihan tanah yang selama ini telah digarap oleh banyak warga desa ini. Di antara mereka itu adalah semua aparat desa (kepala desa, kepala urusan umum, kepala urusan pemerintahan, dan semua aparat desa lainnya), birokrat kecamatan Parigi, komandan distrik militer dan kepala polisi sektor setempat, dan para pejabat lainnya. Termasuk di dalam rombongan itu tak sedikit orang-orang berpengaruh setempat yang telibat. Mereka semuanya berseragam resmi sebagai pejabat-pejabat negara. Tentu saja ini kejadian yang sama sekali tidak biasa di sebuah desa sangat sederhana seperti Cibenda. Beberapa orang di antara para pejabat itu kemudian menancapkan patok-patok batas, mengkapling-kapling areal tanah rakyat. Namun, usaha menduduki areal tanah ini belum lagi menjadi nyata. Barangkali karena belum jelas akan digunakan untuk apa.
Setelah situasi agak tenang, tahun 1995, masyarakat Cibenda kembali menggarap areal tersebut. Tapi kegiatan para penggarap itu langsung ditanggapi dengan intimidasi oleh orang-orang desa yang berkepentingan. Para penggarap sudah disebut-sebut sebagai “PKI” saat itu, suatu tuduhan yang sama sekali tak berdasar dan tak jelas ujung pangkalnya. Akibatnya, menggarap tanah hanya jadi kegiatan setengah hati bagi warga Cibenda itu.
***
Penyerobotan, ketidakadilan, keserakahan. Setelah perubahan politik Indonesia tahun 1998, upaya mengambilalih tanah kembali dilakukan oleh orang-orang yang sama. Tak berbeda dengan sebelumnya, mereka juga menggunakan para aparat desa. Semua areal tanah itu hendak dijadikan tempat pembibitan udang (hatchery). Entah oleh siapa .. “Tanah ini sudah dimiliki oleh orang-orang luar dan sudah ada sertifikatnya,” begitu tegas kuwu Daryo kepada para penggarap. Sementara semua birokrat dan aparat keamanan itu melakukan dan ikut menyaksikan tindakan penyerobotan itu seolah-olah suatu tindakan benar, dan masyarakat petani yang telah menggarap lahan itu sejak 1972 boleh diabaikan bahkan disingkirkan begitu saja. Meskipun demikian, masyarakat desa penggarap itu merasa terheran-heran, tapi sekaligus hati mereka ciut dan takut karena peragaan diri dan kekuasaan para pejabat di tanah-tanah mereka itu mengaburkan kebenaran dan keadilan yang sejati.
Memang ada ganti rugi tapi besarnya sama sekali tidak masuk akal. Ada tiga orang penggarap setempat masing-masing memiliki 200 bata pohon ketela pohon, tapi diganti sejumlah uang yang tak cukup sekalipun untuk beli rokok. Aparat desa mendatangi para penggarap di lahan garapan mereka dan memberikan uang itu. “Tanah ini jangan digarap, tanah ini sudah ada yang punya. Ini uang Rp 7.000,- sebagai ganti rugi. Dan pergilah dari tanah ini,” kata juru tulis desa, yang ditemani seorang aparat desa lain. Sebenarnya tingkah laku aparat desa sudah mendekati tindakan menghina dan merendahkan petani penggarap terlebih-lebih ketika mereka melakukan semuanya itu dengan cara mendatangi para petani di lahan garapan mereka.
Tak lama setelah kejadian ini, hanya hitungan hari, pihak para pengusaha pembibitan udang langsung mendirikan tambak-tambak mereka berikut kantor-kantor manajemen dari masing-masing perusahaan. Jalan batu yang telah lama dibangun oleh para warga penggarap mempermudah pembangunan tambak-tambak udang. Truk-truk besar termasuk tronton dapat masuk membawa bahan-bahan bangunan. Situasi menjadi riuh karena para pekerja bangunan tambak keluar masuk lokasi garapan para petani Cibenda itu. Siang dan malam kesibukan itu tak berhenti sampai menjelang akhir tahun 1999. Bedeng-bedeng kecil dibangun oleh para pekerja bangunan untuk bermalam selama proses pembangunan. Beberapa warga desa Cibenda juga mulai memanfaatkan situasi berpeluang ekonomi itu dengan membuka warung-warung makanan untuk para pekerja pembangunan tambak udang yang umumnya datang dari luar kawasan itu (?). Anak-anak yang biasanya tidak pernah berpikir pergi di sekitar lokasi lahan garapan dan kebun para penggarap itu sekarang mulai mengajak teman-temannya pergi bermain karena tampak situasinya ramai dan terang dengan lampu-lampu petromaks.
Melihat semua perubahan yang begitu cepat terjadi di atas lahan garapan mereka selama beberapa minggu belakangan itu, para petani penggarap merasa terheran-heran dan tak mengerti, tapi sekaligus mereka merasa semua ini tidak benar karena telah terjadi penyerobotan hak penggunaan areal tanah tersebut dari tangan mereka. Namun, mereka juga merasa takut dan tak tahu apa yang harus dikerjakan. Yang bisa mereka lakukan adalah hanya menonton saja, terbengong-bengong. Paling-paling ada yang menggerundel dan mengeluh di belakang, karena jelas-jelas sekarang para petani mengalami garapan lahan mereka telah hilang dan mata pencaharian sirna dalam hitungan beberapa hari begitu saja. “Urang teh kumaha yeuh ... Garapan geus euweuh. Terus urang tatani di mana?“ keluh seorang petani dengan nada lemas karena tak tahu apa yang bisa dilakukan ketika pandangan masa depan jadi gelap dan tak tampak apa-apa sama sekali.
Peranan anak tani setempat. Salah seorang anak petani dari desa Cibenda yang sedang belajar di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Galuh (sekarang universitas) di Ciamis, Arif Budiman, tergugah hatinya ketika menyadari apa yang terjadi di desa asal kelahirannya. Pegiat mahasiswa ini tergerak hatinya untuk mengurus masalah penyerobotan tanah ini. Entah apa pun yang bisa dilakukan, katanya dalam hati, dan kemudian niatan itu menggerakkan kakinya untuk berusaha menghubungi para penggarap yang ada di setiap kampung dan mengajak mereka membahas masalah pengambilan tanah itu. Di Blok Bulak Laut terdapat lima kampung yaitu Sucèn, Budiasih, Sinargalih, Cibenda dan Patrol. Arif sengaja tidak menghubungi para kepala kampung untuk menghindari berhubungan langsung dengan para pejabat struktur desa yang jelas-jelas terlibat dalam penyerobotan tanah garapan rakyat itu.
Arif berhasil menggandeng dua orang lain di desa untuk menjadi penghubung di antara para petani penggarap, yaitu kang Nanang dari kampung Patrol, dan kang Oma dari kampung Sinargalih. Dengan musyawarah di tiap kampung, persisnya di tempat hunian, tiga sekawan ini mencoba menggugah hati dan kehendak para penggarap untuk berbuat sesuatu terhadap praktik penyerobotan areal tanah garapan mereka itu. Ketiga orang ini pada dasarnya bertolak dari perasaan telah diperlakukan tidak adil dan menggenggam pengandaian bahwa pengambilalihan garapan ini bagaimana pun adalah tindakan yang tak dapat dibenarkan sama sekali. Sementara itu kesadaran masyarakat pada saat itu belumlah berkembang sama sekali. Sama sekali tak ada pengaruh dari luar. Belum ada kegiatan pengorganisasian apa pun. Sementara itu Arif sendiri tak tahu-menahu tentang apa itu organisasi. Jadi kesadaran adanya suatu masalah yang tak benar masih sangat murni dirasakan oleh para warga penggarap dan usaha untuk menyelesaikan berangkat dari kesadaran mereka sendiri itu pula.
Keserakahan sebagian warga Cibenda. Penduduk desa Cibenda, yang berjumlah sekitar 6.212 jiwa (51,7% perempuan), bukanlah nelayan, meskipun desa ini terletak di pinggir pantai. Mata pencaharian umumnya adalah berpetani. Demikian pula para warga penggarap tanah yang akan kita kisahkan riwayat konflik tanahnya dalam catatan ini. Kebanyakan menanam kelapa, padi, jagung, palawija, sayuran. Memang ada penduduk di sekitar kawasan pantai ini yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Misalnya mereka yang berada di blok nelayan Bojong Salawe di desa Karang Jaladri kecamatan Parigi dan sebagian di kecamatan Pangandaran. Namun, penduduk yang berada di sepanjang pantai yang menjadi warga desa Sukaresik, desa Cibenda, desa Ciliang dan sebagian desa Karang Jaladri memilih tidak menjadi nelayan. Ini disebabkan karena ombak Samudra Hindia terlalu besar dan berbahaya bagi perahu bersandar di pantai itu. Di lokasi ini tidak pernah ada nelayan dan perahu yang bersandar. Beberapa orang menyandarkan perahunya, tapi pecah diterjang ombak.
Luas tanah yang menjadi sengketa di desa ini kira-kira 37 hatcheries x 100 bata; satu bata kurang lebih sama dengan 4x4 meter persegi ~ secara keseluruhan setidaknya mencapai 6 hektar. Luas tanah yang selama ini digarap oleh para petani di Blok Bulak Laut di bagian desa Cibenda berkisar 120 hektar, termasuk kebun, sawah, kolam, beberapa rumah warga, masjid wakaf, harta desa, makam, sekolah, sarana olahraga warga desa.
Jumlah petani penggarap untuk luasan areal itu sebanyak 742 orang. Rata-rata masing-masing menggarap tanah seluas 20 bata, atau rata-rata sekitar 1.800 meter persegi, sebuah luasan lahan yang terlalu sempit untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari untuk setiap kepala keluarga. Posisi desa Cibenda sendiri tampak cukup menggiurkan banyak orang berduit karena tak jauh dari lokasi pariwisata Pangandaran. Ada sementara pengusaha dan developer besar yang mengincar lokasi-lokasi yang berdekatan dengan pusat wisata Pangandaran ini untuk dijadikan areal pariwisata yang lebih besar seperti Ancol di Jakarta. Harga per kapling bersertifikat sendiri dapat mencapai Rp 10 juta – Rp 15 juta pada tahun-tahun awal 2000-an. Sebelum terjadi penyerobotan untuk hatcheries, ada beberapa kapling yang telah diperjualbelikan sampai ke tangan empat pihak. Nilai ekonomis dari tanah desa Cibenda ini terbukti memang banyak mengundang konflik.
Data desa ini mengisyaratkan betapa lemahnya posisi para penggarap, jika dibandingkan dengan orang-orang yang berkehendak mengambilalih areal tanah itu. Para penyerobot itu, seperti terungkap diatasnamakan oleh siapa-siapa saja, pada umumnya adalah orang yang lebih kaya dan bahkan punya kekuasaan sampai di tingkat kabupaten Ciamis. Mereka bukanlah orang-orang yang sangat membutuhkan tanah untuk hidup mereka. Mereka sudah memiliki lahan dan akses pendapatan yang mencukupi hidup mereka, tapi semua itu masih dirasakan belum cukup. Mereka tergiur pada potensi strategis dari areal Bulak Laut itu. Para penyerobot itu tidak lagi dapat dikatakan tidak tahu apa itu makna keadilan dan kewajaran, sebab ternyata yang mendorong mereka sulit dikatakan lain jika bukan sikap serakah.
Dampak pembangunan hatcheries. Setelah tahap produksi pembibitan udang itu berjalan, orang wajar dan peduli sesama semakin menyadari bahwa sulit dikatakan pihak hatcheries memiliki keprihatinan untuk menjaga lingkungan. Seandainya keprihatinan itu ada, pastilah sangat minim, kecuali hasrat dari para pengusahanya untuk mendapatkan keuntungan secepat-cepatnya. Beberapa contoh berikut ini kiranya dapat memperjelas bagaimana kerusakan lingkungan ditimbulkan oleh pembangunan hatcheries.
Pertama, selama pembangunan dan masa produksi, pihak hatcheries melakukan pembabatan terhadap beberapa hektar tanaman pandan laut dan juga pohon-pohon kelapa yang ada. Padahal sebenarnya tenaman-tanaman itu menjadi penjaga lingkungan di areal pantai sepanjang desa Cibenda dan desa-desa lain di sekitarnya. Dampaknya terasa sangat merugikan situasi lingkungan di kawasan ini. Diduga bahwa pembabatan pandan membuat hilangnya daya tanah di sekitarnya menahan rembesan air laut ke dalam areal daratan. Tanaman padi sejak 2001 menjadi sulit tumbuh dengan produktif, karena resapan air laut ke dalam lingkungan persawahan. Untuk menyilih perubahan lingkungan ini, para penggarap sejak 2004 mengganti produksi tanaman padi dengan tanaman kangkung, meskipun hal ini sama sekali tidak ideal dan menurunkan tingkat produksi padi secara keseluruhan bagi para penggarap.
Kedua, kedudukan pembangunan hatcheries sendiri tidak memperhatikan perubahan aliran air sungai yang terletak di kawasan sengketa itu. Untuk membangun hatcheries senantiasa diposisikan mendekati sungai. Di pinggir sungai-sungai biasanya sudah sejak lama terposisikan persawahan para penggarap. Posisi hatcheries juga selalu dinaikkan lebih tinggi daripada kedudukan galengan sawah. Jika hujan mengguyur bumi, air sungai yang meluap tidak mungkin lagi melewati areal persawahan seperti biasanya. Aliran air sungai yang meluap terhambat oleh bangunan-bangunan hatcheries. Hal ini mengakibatkan keluarnya luapan air menuju ke laut menjadi jauh lebih lambat. Sebelum dibangun hatcheries tahun 1999, luapan air sungai dapat menyurut dalam waktu satu hari saja, dan karenanya tanaman padi tidak sampai rusak. Namun sekarang berdirinya hatcheries itu menjadikan sulitnya air yang melupa cepat keluar dan dibutuhkan waktu satu minggu. Akibatnya, tanaman padi para penggarap jadi rusak sama sekali.
Ketiga, ketika kegiatan hatcheries mencapai puncak produktivitasnya, banyak petani sawah yang mengeluh menderita penyakit gatal-gatal pada tubuh mereka. Rupanya hal ini disebabkan karena pihak hatcheries selalu menggunakan zat kimia formalin ketika melakukan sterilisasi terhadap tambak-tambak. Dan konsekuensinya, ketika limbah hatcheries dibuang menuju ke sungai, semua kotoran, termasuk formalin, meluap ke dalam sawah-sawah produktif para penggarap.
Sementara itu, beberapa hari setiap minggunya Arif bertemu dengan teman-teman mahasiswa di kampus. Teman mahasiswanya yaitu Andri aktif di senat mahasiswa STKIP Galuh dan punya kontak dengan organisasi-organisasi mahasiswa di Jakarta. Mereka sudah mendengar apa yang diprihatinkan para mahasiswa di Jakarta dan kiprah politik mahasiwa di ibukota. Mereka bertiga pernah juga mendukung aksi keprihatinan atas penembakan seorang mahasiswa di kampus Universitas Atmajaya Jakarta. Arif sebagai mahasiswa baru yang belum pernah pergi ke Jakarta merasa bahwa semua yang dilihatnya sehubungan dengan perubahan situasi politik di Indonesia sangat menggugah hatinya dan ia mulai mengerti hal-hal baru yang sebelumnya selama di daerah tak difahaminya. Pengalaman terlibat dalam kiprah politik mahasiswa ini membuat Arif mulai mengerti bahwa ada peluang dan keterbukaan politik di Indonesia, termasuk di desa-desa. Ada banyak hal yang bisa dilakukan, begitu mungkin kata hatinya. Berbeda dengan masa sebelumnya ketika Soeharto masih jadi presiden. Dari sana Arif mendengar bahwa kegiatan mengurus masalah tanah demi tegaknya keadilan sudah mungkin dilakukan di desa. Sebab semua orang tahu bahwa selama zaman Soeharto kegiatan berapat dan membahas permasalahan sosial secara terbuka di tingkat kampung pun sudah sangat dipertanyakan. Namun, kiprah Arif di kampus ikut mendorongnya menjadi semakin sadar akan situasi sosial politik yang sulit selama masa transisi politik ini. Tapi sekaligus perubahan dan peluang ini lebih mendorong Arif untuk melibatkan para penggarap Blok Bulak Laut dalam usaha menyelesaikan persoalan penyerobotan tanah tersebut. Menyadari bahwa persoalan tanah di Cibenda adalah persoalan hukum yang sulit dipecahkan, teman-teman di kampus mengusulkannya agar berkonsultasi dengan lembaga bantuan hukum.
Selang beberapa saat Arif datang ke kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Penanggungjawab bantuan hukum untuk divisi pertanahan di kantor itu mengusulkan agar dibuat surat kuasa pengurusan gugatan hukum yang harus ditandatangani oleh semua penggarap. Namun, di kantor itu pula Arif bertemu dan didorong oleh seorang pegiat gerakan rakyat Agustiana yang juga berasal dari kabupaten yang sama yaitu Ciamis untuk segera mengurus masalah tanah itu. Agustiana mengusulkan pada Arif agar para tokoh penggarap tanah Cibenda dikumpulkan dan ia berjanji akan langsung datang untuk bertemu dan juga meyakinkan para tokoh penggarap itu.
Di akhir pertemuan malam hari itu juga, di mana Agustiana hadir menepati janjinya, diyakini oleh warga penggarap bahwa (1) masalah tanah ini dapat diselesaikan dengan cara menggugat kepemilikan sertifikat yang tidak sah itu; (2) para penggarap menyadari bahwa untuk menyelesaikan masalah tanah ini tidak bisa dilakukan secara terpisah-pisah oleh masing-masing penggarap tapi harus bersama-sama dan bersatu; masyarakat merasa tergugah untuk mulai bersekutu satu sama lain.
Para petani kemudian berupaya menyusun data status pertanahan yang digarap. Selama kurang lebih satu bulan, mereka menuliskan data identitas para penggarap, mengumpulkan fotokopi KTP, memastikan posisi dan letak tanah garapan masing-masing, berapa luasnya, dst. Penegasan awal atas status garapan ini diperlukan untuk meningkatkan kesadaran atas apa yang selama ini telah mereka kerjakan dan “miliki” sebagai kerja pertanian dalam kehidupan mereka. Selama ini para petani “asal menggarap” lahan secara tradisional begitu saja. Batas-batas masih ditentukan dengan tanda-tanda alam adanya pohon tertentu (kamboja). Tapi sekarang para petani mulai menentukan dan mengetahui batas-batas garapan dengan ukuran jarak dan luas. Kesadaran ini perlu ditingkatkan sehubungan dengan sudah adanya pihak-pihak luar yang mengincar dan mengancam keutuhan keberadaan dan kepenggarapan para petani setempat.
Setelah konsolidasi internal dan menyadari kepentingan dan apa yang hendak dituntut, sekitar 200 orang sepakat datang ke kantor desa untuk mempertanyakan pada pihak desa tentang penyerobotan tanah secara sepihak itu, Oktober 1998. Tanggapan lurah: Masalah ini tidak bisa diselesaikan di desa, tapi harus ke kabupaten. Para penggarap tak ingin menunda apa pun dan langsung bersepakat untuk mengurus persoalan tanah ini ke pihak BPN Ciamis..
Sementara itu dalam bulan-bulan ini Agustiana nyaris setiap minggu datang ke Ciamis untuk melanjutkan pengorganisiran mahasiswa di Ciamis. Kurang lebih terkumpul sampai sebanyak 20 orang mahasiswa. Dalam pertemuan-pertemuan peningkatan kesadaran sosial politik, para mahasiswa itu menata keterlibatan mereka dengan mengaitkan diri secara langsung dengan kasus Cibenda. Pendekatan berorganisasi berdasarkan usaha menangani kasus ini mendorong pengerucutan mobilitas para mahasiswa. Disadari pula saat itu perlunya membentuk suatu forum mahasiswa yang dapat mendampingi para petani Cibenda dalam menyelesaikan kasus tanah tersebut.
Rapat-rapat kampung di desa Cibenda kemudian sering diselenggarakan. Kontak dan koordinasi antara mahasiswa dan para petani secara timbal balik di Ciamis dan Cibenda meningkat. Diputuskan untuk perlu mengadakan aksi mobilisasi massa untuk mendesak pihak pemerintah kabupaten di Ciamis. Namun, perlu dicatat di sini bahwa jarak antara Ciamis dan Cibenda di pantai selatan lebih dari 100 km. Karenanya dapat dibayangkan bahwa mobilitas yang terjadi kiranya cukup memakan banyak waktu dan menuntut keterlibatan para petani dan pegiat mahasiswa, lebih daripada apa pun yang pernah terjadi bagi mereka di masa sebelumnya. Sasaran aksi diarahkan ke kejaksaan Ciamis untuk melaporkan kasus pemalsuan sertifikat dan ke DPRD Ciamis untuk meminta dukungan agar para wakil rakyat itu ikut menyelesaikan kasus pidana pemalsuan sertifikasi. Oktober 1998, sejumlah 20 truk yang masing-masing diisi oleh sekitar 50 orang petani berangkat mendukung aksi di Ciamis. Agustiana menjadi juru bicara. Hasilnya: setidaknya dalam kata-kata, pihak kejaksaan bersedia untuk memeriksa kasus pemalsuan ini, dan pihak DPRD pada intinya juga bersedia mendukung pembongkaran kasus pemalsuan sertifikat tanah ini sekaligus ketua DPRD Ciamis Johny Atik Hasan mendukung bahwa para petani menggarap kembali areal tanah Blok Bulat Laut itu. Janji lain: pihak DPRD hendak datang untuk melihat lokasi sengketa tanah itu. Para petani merasa bahwa langkah awal telah dijejakkan. Mereka pulang ke desa dengan perasaan sedikit ada pegangan, meskipun semuanya tetap tidak jelas .. Begitu pulang dan sampai di desa, para petani langsung melanjutkan garapan tanah masing-masing.
Di belahan lain dari dunia desa Cibenda, kegiatan mahasiswa untuk aksi pro-petani di kabupaten Ciamis semakin mengental dan forum mahasiswa kemudian dibentuk, 28 November 1998. Secara khusus deklarasi dilakukan di desa Cibenda, dengan maksud sekaligus untuk mengaitkan dan mengenalkan para mahasiswa dengan para petani di desa itu. Deklarasi ini membuat para petani menyadari bahwa ada pihak luar desa yang prihatin dan ikut memperjuangkan kepentingan mereka. Para petani menjadi lebih berani dan para mahasiswa lebih tergugah untuk menyadari bahwa masalah tanah adalah juga tantangan bagi gerakan mahasiswa setempat menghadapi persoalan-persoalan sosial dan ketidakadilan di kabupaten Ciamis. Perkumpulan dan gerakan mahasiswa ini diberi nama Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (Farmaci).
Satu minggu setelah aksi di Ciamis, beberapa anggota DPRD Ciamis datang untuk melihat di lokasi sengketa. Di antara mereka terdapat ketua komisi A urusan tanah dan pemerintahan pak Lestari dan Edi Junaedi dari fraksi TNI. Sebelumnya para anggota DPRD itu menghubungi Farmaci untuk mengkoordinasikan acara penyambutan kedatangan mereka di desa Cibenda. Para warga penggarap bersama pendamping Farmaci menyiapkan perlengkapan termasuk tenda publik di lokasi garapan agar dapat terselenggara berdialog antara para petani dan para anggota DPRD.
Dampak dari kedatangan para anggota DPRD ini adalah bahwa para petani semakin bersemangat untuk kembali ke desa dan meneruskan garapan tanah mereka. Pihak DPRD sendiri menyepakati bahwa pihak hatcheries tak boleh mendirikan lagi bangunan pembibitan udang. Memang tidak sampai terungkap ketegasan sepenuhnya atas larangan pendirian bangunan pembibitan udang oleh pihak para pengusaha. Namun, bagaimana pun, masyarakat penggarap sudah merasakan adanya tambahan dukungan dari pihak wakil rakyat di tingkat kabupaten. Sementara itu soal pidana pemalsuan mulai tidak menjadi perhatian dari para penggarap, karena sementara itu garapan tanah sudah dapat dikerjakan lagi.
Desakan warga petani untuk mengusut delik pemalsuan sertifikat ternyata juga disambut secara responsif oleh pihak kejaksanaan Ciamis. Pertengahan November 1998, tiga orang jaksa diutus untuk melakukan investigasi lebih mendalam ke desa Cibenda sehubungan dengan terhadap kasus pemalsuan. Tidak biasa bahwa pihak kejaksanaan sampai menginap di rumah-rumah penduduk desa sampai seminggu dalam melakukan investigasi suatu perkara. Masyarakat penggarap di Cibenda sangat mendukung upaya kejaksanaan. Beberapa orang warga penggarap terlibat menjadi anggota tim pencari fakta dalam investigasi tersebut. Dalam proses waktu banyak data dan catatan telah diserahkan kepada pihak kejaksanaan oleh para anggota tim dari desa Cibenda.
Sementara itu, kegiatan mengorganisir rakyat Cibenda ini bukan tanpa tantangan dari dalam masyarakat desa itu sendiri. Salah satu orang kaya warga desa Cibenda, pak Herman, merasa keberatan terhadap kegiatan Farmaci mengorganisir para penggarap. Dalam suatu acara hajatan komunitas desa, sekitar Desember 1998, pak Herman, seorang purnawirawan TNI-AD dengan pangkat terakhir letnan, sebagai orang yang dianggap terhormat dalam masyarakat setempat diminta untuk memberikan sambutan. Dalam sambutan itu, pak Herman secara jelas menyebut-nyebut bahwa Farmaci dan para penggarap tanah yang sedang memperjuangkan kasus tanah itu adalah “PKI baru dan mengajak warga Cibenda untuk bersikap berhati-hati.” Warga penggarap merasa bahwa ucapan pak Herman ini mencemarkan nama baik para penggarap karena menuduh maksud baik para penggarap dalam menyelesaikan kasus ketidakadilan ini seolah-olah adalah kegiatan momok masyarakat yang menakutkan. Para penggarap tanah sendiri sempat menjadi gentar dan tak mau meneruskan pertemuan-pertemuan penguatan perjuangan. Maka, diputuskan oleh para pemuka penggarap untuk melaporkan kasus ini kepada pihak Polres Ciamis sebagai kasus pencemaran nama baik. Akhirnya pak Herman ditangkap dan diseret ke tahanan Polres Ciamis. Pak Herman hanya mendekam selama seminggu, karena pertimbangan kekeluargaan. Pak Herman adalah salah seorang saudara sepupu dari salah seorang pemuka penggarap di Cibenda. Namun, yang penting bahwa dampak dari penahanan pak Herman ini, masyarakat penggarap menjadi bersemangat kembali karena tak ada dasar untuk takut. Semua orang menyadari kemungkinan ancaman pelemahan semangat oleh momok palsu “partai kuminis” di masa silam yang masih saja bisa membuat rakyat Indonesia seumumnya jadi takut itu dan yang sering dimanipulasikan oleh kekuatan musuh itu sudah dicabut taring-taringnya dan dibungkam gertak sambalnya. Sejak itu, tak ada lagi pihak-pihak lain yang mau mencoba-coba menggunakan cara-cara intimidasi murahan semacam itu.
***
Sepanjang bulan-bulan awal 1999 masyarakat kembali menggarap lahan. Sementara itu, pihak hatcheries juga terus berjalan. Semuanya tampak telah berjalan biasa di mana para penggarap dan hatcheries berdampingan satu sama lain walaupun kasus sengketa belum diselesaikan. Masing-masing berjalan sendiri-sendiri dan juga tak ada komunikasi di antara mereka. Namun, menjelang pertengahan 1999, warga penggarap melihat ada kegiatan membangun hatchery yang baru di lokasi sengketa. Pihak warga petani berusaha beberapa kali memperingatkan baik langsung secara lisan atau pun tertulis secara resmi kepada pihak pembangun hatchery. Namun pihak hatchery tidak memedulikan dan malah memberikan jawaban asal-asalan bahwa yang sedang mereka bangun ini “sifatnya hanya sementara saja”, tapi proses pembangunan toh tak berhenti.
Sampai akhirnya warga penggarap kang Nanang, yang berkepribadian keras, 30 Desember 1999, sendirian berangkat menuju ke salah satu hatchery yang sedang dibangun dan membakarnya dengan menyiramkan solar yang kebetulan ditemukannya di lokasi pembangunan. Si jago merah cepat meludeskan gedung pembibitan udang itu karena bagian dindingnya terbuat dari bambu dan bagian atapnya terbuat dari kayu. Mengapa kang Nanang sampai nekad membakar tempat pembibitan udang itu? Semuanya hanyalah karena didasarkan pada kenyataan bahwa pihak hatcheries sama sekali tidak menghormati kesepakatan yang ditandatanganinya sendiri. Motivasi lain adalah supaya jangan sampai ada pengusaha lain yang melakukan hal yang sama. Kang Nanang sendiri sangat sadar bahwa tindakannya berimplikasi pidana. Tapi sesungguhnya dalam kenyataan tidak ada lagi pilihan lain yang dapat dilakukan untuk melawan praktik ketidakadilan dan kesemena-menaan yang dilakukan oleh para pengusaha kaya yang suka cari untung sendiri itu.
***
Pemidanaan petani dan keterbukaan politik di kabupaten Ciamis. Kira-kira dua minggu setelah peristiwa pembakaran di awal 2000, polsek Parigi memanggil kang Nanang. Namun polisi tidak bisa menahannya, karena kang Nanang datang menuju kantor polsek Parigi didampingi oleh 400-an warga penggarap. Pada waktu itu kesadaran dan solidaritas sekaligus rasa kesal masyarakat penggarap terhadap pihak hatcheries masih sangat tinggi. Bahkan ada sementara desakan yang menyatakan, mengapa tidak dibakar saja 37 hatcheries lain yang ada di lokasi sengketa itu.
Sementara itu, dalam konteks kehidupan organisasi tani pada tingkat antarkabupaten Garut, Tasikmalaya dan Ciamis, terjadi suatu perkembangan yang bermanfaat bagi masyarakat penggarap di Cibenda. Serikat Petani Pasundan (SPP) mulai terbentuk dan dideklarasikan keberadaannya, 24 Februari 2000, di Garut. Pendirian SPP ini semakin menguatkan semangat para warga penggarap, karena mereka merasa bahwa di Priangan Timur ini mereka memiliki banyak kawan yang senasib seperjuangan melawan ketidakadilan dan kemiskinan. Dan secara otomatis seluruh warga penggarap yang berjumlah 742 orang itu menjadi anggota SPP.
Polisi baru memanggil ulang kang Nanang sebagai tersangka kasus pembakaran bangunan hatchery empat bulan setelah peristiwa pembakaran, 14 April 2000. Bersamaan dengan kang Nanang, terdapat tiga orang lain yang semula dipanggil sebagai saksi, yaitu mang Encud, kang Oma, mang Sapdia. Tampaknya ketiga petani yang ditangkap bersama dengan kang Nanang ini adalah tiga orang yang paling vokal dalam menyuarakan kepentingan para petani. Ketiga tokoh petani ini kemudian dijadikan tersangka oleh polisi karena dianggap telah “ikut serta melakukan” pembakaran. Menurut para penggarap di Cibenda, tuduhan polisi ini sama sekali tak berdasar karena ketiganya sama sekali tidak terlibat dalam kasus pembakaran hatchery itu. Sampai saat berlangsungnya perkara pembakaran, ketiga orang ini sama sekali tak tahu-menahu tentang kejadian pembakaran apalagi rencana pembakaran oleh kang Nanang. Dengan penahanan ketiga tokoh petani Cibenda ini sebagai tersangka tampak jelas bahwa yang hendak disasar oleh polisi adalah melumpuhkan gerakan SPP di desa Cibenda. Tahap berikutnya seluruh warga penggarap dari Cibenda berhadapan dengan perlunya mendukung gerakan memperlemah upaya pemidanaan terhadap para petani.
Kebanyakan warga petani Cibenda merasa keberatan bahwa kang Nanang yang selama ini telah memperjuangkan kepentingan petani harus ditahan, karena bagaimana pun seluruh proses pengambilalihan tanah oleh pihak hatcheries itu tidak adil dan tidak transparan serta menginjak martabat para petani yang selama ini telah menggarapnya tapi dianggap seolah-olah tak berharga sama sekali. Namun, kang Nanang merasa bahwa keinginan dan perjuangan para petani untuk dirinya dapat membelokkan seluruh perjuangan dari tujuan semula yaitu menyelesaikan kasus pengambilalihan tanah secara paksa itu. Maka atas ketegasan pribadi kang Nanang sendiri, lelaki yang tak banyak bicara ini memutuskan agar para petani Cibenda tak terlalu memusatkan perhatian untuk mengeluarkan dirinya dari proses hukum seperti telah mereka lakukan ketika polisi hendak menangkapnya untuk pertama kali. Tapi sekaligus kang Nanang mengajukan syarat kepada para rekan petani penggarap agar mendesak pihak kejaksaan Ciamis untuk (juga) memroses kasus pemalsuan sertifikat tanah di Cibenda itu.
Bulan Mei 2000, untuk mendukung gerakan anti-pemidanaan para petani ini, didampingi oleh pegiat Farmaci, para petani berdemonstrasi di polres Ciamis agar menangkap lurah desa Cibenda. Sementara itu, di pengadilan negeri Ciamis ketika persidangan kasus kang Nanang digelar seminggu sekali dalam jangka waktu tiga bulan, para petani hadir untuk memberikan dukungan moral agar pengadilan menggugurkan dakwaan. Setiap kali aksi di ibukota kabupaten setidaknya 250 orang petani dari Cibenda datang ke Ciamis naik lima buah truk. Warga petani dari desa lain dalam jaringan SPP di Ciamis yaitu dari desa Margaharja kecamatan Sukadana dan desa Cikujang kecamatan Cihaurbeuti ikut mendukung aksi-aksi tersebut.
Sebuah kejadian-antara akan memberikan gambaran tentang situasi politik keamanan di ibukota kabupaten ini ketika minggu-minggu persidangan kasus pidana ini dilangsungkan. Para jaksa tampak takut karena keempat terdakwa setelah acara sidang selesai selalu meminta jaksa dan sopir kendaraan tahanan kejaksaan agar bersedia menemani makan bersama di restoran terenak di Ciamis. “... kalau tak ingin mobil tahanan ini juga dibakar seperti ‘hatchery’ ...” kata kang Nanang kepada jaksa penuntut umum. Para jaksa, sopir kejaksanaan, dan kadang ditemani oleh para pendamping petani akhirnya makan bersama di restoran “Pujaseda.”
Selama persidangan berlangsung, situasi kota Ciamis terasa mencekam. Warga masyarakat yang menghuni perumahan di sepanjang jalan-jalan penting khawatir terjadi kerusuhan seperti telah terjadi sebelumnya di kota tetangga Tasikmalaya tahun 1996. Ketika rombongan para petani dengan truk-truknya melewati jalan-jalan penting di kota Ciamis, warga masyarakat di sepanjang jalan tampak minggir semua. Mobil-mobil umum dan pribadi juga tampak minggir di tepian jalan. Apa yang terjadi tampak sangat kontras dibandingkan dengan yang selama ini berlangsung di kota Ciamis yang aman tenteram dan masyarakatnya berjiwa “sumuwun dawuh”.
Selama proses penyidangan kang Nanang, tuntutan para petani agar kasus pemalsuan sertifikat juga segera diproses tidak dapat dipenuhi oleh pihak kejaksaan saat itu juga. Barangkali karena ada pertimbangan keamanan kota oleh pihak pemerintah kabupaten. Karenanya, situasi yang dirasakan tak adil ini membuat para petani semakin perlu meningkatkan desakan dan tekanan kepada pihak kejaksaan. Aksi petani di kejaksaan, Agustus 2000, ketika pihak penuntut umum hendak menghadirkan saksi yang memberatkan kang Nanang, 500 orang petani didampingi pegiat Farmaci memutuskan untuk masuk ke dalam halaman kantor kejaksaan. Jumlah massa yang komparatif cukup besar dibandingkan dengan sempitnya halaman kantor kejaksaan dirasakan oleh para jaksa sebagai tekanan psikis yang lebih keras terhadap kinerja dan keberadaan mereka. Para jaksa dan para pegawai kejaksaan dipaksa keluar oleh massa pendesak agar memberi tanggapan atas tuntutan para petani. Kepala kejaksaan terpaksa keluar dan berujar lewat megaphone bahwa kasus pemalsuan sertifikat akan segera diproses. Seorang jaksa lain yang hadir dan diminta untuk mengujarkan al-Fatihah pada audiensi jalanan ini tampak gemetar berhadapan dengan situasi tekanan psikososiopolitik di mana sebagai penegak hukum mereka dituntut untuk menjalankan keadilan secara langsung di hadapan Sang Pembela Kebenaran.
Beberapa kali ketika warga penggarap hendak berangkat untuk mengikuti jalannya sidang terhadang para tersangka, mereka dicoba dicegah oleh pihak koramil Parigi dan polsek Parigi. Tentara dan polisi menahan truk-truk yang sedianya disewa oleh para penggarap. Tapi, keyakinan sudah bulat untuk mendukung solidaritas terhadap para petani yang dikorbankan itu. Jika tidak ada truk, naik kendaraan umum dengan biaya sendiri pun tak jadi masalah bagi para penggarap.
Pada penyidangan kang Nanang yang ketiga, Mei 2000, beberapa unsur organisasi massa lain yaitu Pemuda Pancasila, Satgas PDI-P dan Banser Nadhlatul Ulama, sejumlah kira-kira 200 orang, juga ikut beraksi di depan gedung pengadilan dengan tuntutan tak tertulis bahwa proses pengadilan ini “jangan sampai dipengaruhi oleh pihak luar.” Sementara para petani sebenarnya sangat sadar bahwa mereka memang hendak mempengaruhi jalannya sidang yang sejauh ini selalu dikotori oleh intransparansi hukum. Belakangan para pendukung ketiga ormas itu, di antaranya beberapa pengurus anak cabang Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), kemudian putar haluan malah menjadi anggota SPP.
Vonis dijatuhkan, 14 Juli 2000. Kang Nanang dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara, sedangkan ketiga orang lainnya lima bulan, masing-masing dipotong masa tahanan. Bezuk selalu dilakukan oleh para warga petani Cibenda dan dari desa-desa lain untuk tetap menyemangati para pejuang petani yang sedang mendekam di penjara. Setelah bebas, para mantan narapidana ini disambut dengan syukuran sebagai para pejuang yang telah berkorban demi organisasi tani di Ciamis. Pada saat dibebaskan, secara khusus kang Nanang disambut oleh para wakil jaringan SPP di tiga kabupaten.
Setelah para petani habis masa pemenjaraannya dan kemudian pulang ke desa, proses hukum untuk kasus pemalsuan sertifikat segera berjalan. Berkas proses hukum pemalsuan sertifikat terhadap lurah desa Cibenda kemudian langsung dilimpahkan ke pengadilan Ciamis, September 2000?, setelah kang Nanang dibebaskan. Para pegiat Farmaci bersama dengan para petani dari desa Cibenda, didukung oleh beberapa perwakilan petani dari desa-desa lain seperti desa Margaharja dan Cikujang yang juga bergabung dalam SPP bertugas terus memantau perkembangan jalannya sidang. Sidang ini berlangsung selama dua bulan. Terdakwa yang dituntut adalah mantan lurah Daryo dan sekretaris desa Misman. Di desa Cibenda sendiri, Daryo sudah habis masa jabatannya sebagai lurah pada 1999. Sedangkan Misman diberhentikan sebagai sekretaris desa ketika ditahan oleh pihak kejaksaan. Keduanya dituduh telah “memberikan keterangan palsu dalam sebuah surat negara” berupa sertifikat kepemilikan tanah. Majelis hakim akhirnya menjatuhkan vonis lima bulan untuk masing-masing terdakwa, 6 November 2000.
Tindak pidana pemalsuan ini bagaimana pun tetap dirasakan sebagai masalah inti dari tuntutan warga penggarap di Cibenda, sebab kasus ini mengandaikan keterlibatan banyak pihak di kalangan penguasa masyarakat yang sama sekali tak memedulikan kepentingan rakyat miskin. Membiarkan orang miskin hidup itu sudah lumayan walaupun jelas sikap yang jauh dari solidaritas berbangsa dan bernegara, tapi para pejabat negara ini malah mengorbankan orang miskin yang semestinya harus dilayani karena itulah salah satu janji kepejabatan mereka. Kemungkinan keterlibatan “aktor intelektual” dari kasus Cibenda ini mengarah pada peranan para pejabat BPN Ciamis.
Kemungkinan ini diperkuat oleh analisis dari seluruh masalah penyerobotan tanah di Cibenda dalam bentuk beberapa pertanyaan berikut ini: Bagaimana mungkin seorang lurah yang ruang lingkup kerja dan kemampuannya tak jauh daripada sesempit di desa sangat sulit baginya untuk dapat merekayasa seluruh pemalsuan sertifikat tanah yang diatasnamakan lebih dari 900 orang penting, berkedudukan dan punya dana, tanpa ada keterlibatan pihak yang sangat faham permasalahan tanah dan memiliki kontak, koneksi serta kenalan yang luas di kabupaten Ciamis? Mungkinkah para penggarap tanah yang sederhana di tingkat desa memperjualbelikan tanah garapan kepada pihak luar sementara pada saat itu mereka tak mengetahui bahwa status tanah yang mereka garap itu adalah “tanah negara bebas”? Bukankah hanya pihak-pihak tertentu yang berurusan dengan otoritas pertanahan setidaknya di tingkat kabupaten yang dapat berbuat sedemikian sepihak? Sementara para penggarap tanah di Cibenda sendiri tidak mengetahui sama sekali bahwa status tanah yang mereka garap adalah “tanah negara bebas”. Yang diketahui adalah bahwa mereka “menggarap tanah desa dengan kewajiban menyerahkan 10 kg gabah untuk setiap kali panen dari setiap blok garapan.”
Bpk H. Idid, lelaki menjelang setengah baya, yang menjabat sebagai kepala seksi perencanaan BPN Ciamis, adalah satu-satunya pihak pejabat pertanahan yang berurusan dengan lurah desa Cibenda sebagai terdakwa pemalsuan sertifikat. Sementara itu, dalam persidangan kasus pemalsuan ini, H. Idid menjadi salah seorang saksi dari pihak jaksa, yang mestinya diharapkan dapat meringankan kesalahan terdakwa. Namun, dalam persidangan H. Idid bersikap berbelit-belit, sampai ketua majelis hakim marah. H. Idid menjawab pengulangan pertanyaan yang sama dari hakim dengan jawaban-jawaban yang berbeda-beda. Misalnya, hakim bertanya tentang Surat Keputusan Redistribusi Tanah (SK Redis). Mengapa dalam satu blok areal tanah terdapat dua pucuk SK Redis atas nama dua kelompok “pemilik sertifikat” (palsu) yang berbeda satu dari yang lain? Pada jawaban pertama, H. Idid menyatakan bahwa “waktu kapan permohonan dilayangkan berbeda satu dari yang lain.” Sementara dalam jawaban kedua, ketika hakim menanyakan ulang, H. Idid menjawab bahwa “jenis penggunaan penanaman asalnya berbeda satu sama lain, karena ada sawah, kebun atau sudah jadi perumahan.” Jawaban yang tidak konsisten ini mengisyaratkan bahwa H. Idid memberikan keterangan dusta dan tidak tegas tentang latarbelakang adanya SK Redis ganda untuk blok tanah di Cibenda tersebut.
Masyarakat petani Cibenda tidaklah memandang penyidangan ini sebagai kemenangan politik karena perjuangan pembaruan agraria jelas masih panjang menghadang mereka, terutama sehubungan dengan kepastian penguasaan tanah atas lahan garapan mereka yang tetap berstatus sebagai “tanah negara bebas”. Sebab, jika kasus penyerobotan ini dipandang secara lebih keseluruhan, tampak benar bahwa yang diproses hukum hanyalah pejabat-pejabat rendah di tingkat desa, yang tidak jauh lebih tinggi posisinya daripada para petani penggarap itu sendiri dalam masyarakat. Namun, mereka berharap bahwa proses penyidangan kedua pejabat kelurahan itu dapat menjadi “cermin” (eunteung) bagi para aparat lain di desa, bahwa penyalahguna kekuasaan harus dijebloskan ke dalam penjara.
Dalam konteks politik desa, tampak jelas bahwa musuh-musuh para penggarap pertama-tama sebenarnya adalah sesama warga desa Cibenda sendiri, tapi pada umumnya mereka memiliki pengaruh politik dan kekuataan ekonomi yang besar. Musuh politik desa inilah yang bersekongkol dengan pihak-pihak luar yang juga dipilih dari antara mereka yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi, termasuk pejabat kecamatan dan kabupaten, tak terkecuali bupati Ciamis sendiri Taufik Hidayat. Pak Haji Adang, misalnya, salah seorang pemilik hatchery adalah orang desa Cibenda sendiri. Namun, sebagai pegawai negeri sipil, seorang dokter pemerintah, warga desa Cibenda yang terhormat ini juga memiliki dua buah hotel di pusat wisata Pangandaran, kecuali sudah lama menjadi anggota Golkar. Kekuatan ekonominya dapat digunakan untuk menyingkirkan para penggarap, seandainya mereka tak memiliki kekuatan untuk melawan. Kecuali pengusaha hatchery, H. Eso juga memiliki usaha penggilingan padi dan beberapa sarana serta jasa angkutan truk. Tiga orang terhormat dari desa, seperti H. Rosim, Udèh dan H. Ukardi adalah juga pengusaha hatchery dan calo tanah yang memiliki ikatan politik dengan Golkar, seperti halnya juga H. Adang dan H. Eso. Yang terjadi ketika tanah Bulak Laut ini “dibagi-bagikan” di antara mereka barangkali lebih mirip dengan “membagi hasil jarahan”. Penilaian masyarakat ini muncul karena sikap para pesekongkol itu tak ubahnya seperti orang-orang kaya dan berpengaruh yang tak berpikir apa pun lagi kecuali menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk boleh dan bisa begitu saja menyingkirkan para petani sederhana yang berkemampuan dan berwawasan sesempit di desa Cibenda saja. Penilaian itu juga dikuatkan ketika ada kejadian seorang mantan polisi dari desa Cibenda yang tidak diikutsertakan dalam “pesta bagi hasil jarahan” itu memrotes lurah Daryo yang tidak mencantumkannya dalam daftar pemangku sertifikat.
Dari segi politik partai, desa ini masih tetap didominasi oleh kekuatan partai politik lama Golkar. Urutan suara berikutnya adalah PDI-P, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa. Suara warga SPP banyak disalurkan untuk PDI-P di desa ini, tapi untuk mewujudkannya menjadi keterwakilan dalam Badan Perwakilan Desa (BPD), suara warga SPP masih terbagi-bagi secara territorial berdasarkan posisi territorial dari kampung ke kampung, sehingga hanya satu wakil SPP saja yang dapat masuk menjadi anggota BPD. Tantangan yang dihadapi oleh pak Oman menjadi anggota BPD dari SPP pada tahun 2004 pada masa jabatan lurah pak Ikin sangatlah besar, karena dialah satu-satunya anggota BPD dari SPP dan karena sulit mempengaruhi keputusan dewan desa.
***
Kemapanan desa terus berusaha menyerobot tanah. Lurah Cibenda sudah diganti dengan lurah baru yaitu pak Engkos (2001-2003), yang sebenarnya juga terlibat dalam kasus penyerobotan tanah itu. Lurah baru ini masih berusaha bekerja sama dengan pihak hatcheries untuk mengambilalih tanah garapan masyarakat Cibenda. Pak Engkos tampak berada di hatchery milik pak Kuku salah seorang pemilik hatcheries ketika sekitar tujuh orang preman menebang tanaman kelapa milik penggarap pak Tunud.
SPP berupaya melakukan gerakan untuk mengakhiri konflik tanah di Cibenda. Salah satu usaha yang dilakukan adalah mengerahkan sekitar 2.000 petani untuk menggelar aksi untuk mendesak DPRD Ciamis, 30 Juli 2001. Massa juga sempat sebentar mendatangi kantor BPN Ciamis dan Pemda Ciamis. Dalam audiensi di DPRD Ciamis hadir pihak kejaksanaan, kapolres Ciamis Jainuri Lubis, pihak Pemda Ciamis Sekda Sumarno, dan PT Perhutani. Aksi ini sebenarnya juga dimaksudkan untuk mendukung penyelesaian konflik terhadap kasus-kasus tanah yang lain, terutama desa-desa berikut ini: Margaharja, Cikujang, Cikaso (beserta 5 desa yang lain di sekitarnya), Kalijaya, Bangunkarya, Selasari, Cikupa, Maloya dan Cintanegara.
Audiensi di DPRD ini kemudian merekomendasikan untuk membentuk tim terpadu tingkat kecamatan Parigi dan tingkat kabupaten Ciamis untuk menyelesaikan konflik tanah di Cibenda. Komposisi anggota tim adalah camat Parigi, kapolsek Parigi, aparat desa Cibenda yang terdiri dari kepala desa, sekretaris dan BPD, pengurus SPP, wakil penguasa hatchery, mantan sekretaris desa dan Farmaci. Rekomendasi utama adalah memperkuat kesepakatan semula bahwa pihak hatchery tak diizinkan mendirikan gedung pembibitan lagi, dan bahwa penggarap didorong untuk meneruskan penggarapan atas tanah tersebut. Pihak hatchery secara khusus diwakili oleh satu orang pengusaha dari Pangandaran yaitu Kadar Suryaman.
Namun, di pihak lain, dalam usaha mereka untuk kembali terus berusaha menduduki tanah itu, para pemilik hatcheries juga melakukan usaha lain. Mereka membentuk apa yang dinamakan sebagai “Tim 9”, Agustus 2001, yang terdiri dari H. Adang, Udèh, H. Eso, dan beberapa orang berpengaruh dari luar, seperti Kadar Suryaman (mantan anggota DPRD Ciamis) dari Pangandaran, pengusaha Joniyus dari Pengandaran, pengusaha dan guru SMA bernama Dadang Kadi, anggota DPRD Ciamis dan pengusaha Juhan dari fraksi Golkar dan pengusaha hatchery Agus. Mereka juga menyewa para preman untuk menakut-nakuti warga penggarap Cibenda agar mencabuti tanaman-tanaman yang telah diurus penggarap selama ini. Warga penggarap sempat mengenali para preman yang berjumlah ratusan itu berasal dari kalangan para jagger dari terminal Pangandaran; banyak di antara juga tukang becak dan tukang becak, bahkan juga nelayan. Memang para preman itu sendiri tidak sampai mencabuti sendiri tanaman-tanaman para penggarap, barangkali karena mereka takut dapat dilaporkan warga penggarap dan dikriminalkan oleh kepolisian. Tampaknya selalu ada usaha dari pihak hatcheries untuk menyamakan kedudukan, sebab terdapat pula dua kali kasus pembongkaran rumah yang berusaha dibangun oleh para penggarap di lokasi sengketa.
Sebagaia balasan berikutnya, dengan munculnya “Tim 9”, pihak SPP merasa perlu untuk memberikan suatu pernyataan terbuka, tapi terutama diarahkan kepada pihak Polres Ciamis, Tim Terpadu, Danramil Parigi, kepala desa dan BPD Cibenda, bahwa “Tim 9” ini tidaklah termasuk di dalam Tim Terpadu penyelesaian konflik tanah di Cibenda.
***
Usaha mengatasi kemerosotan. Namun, setelah vonis dijatuhkan, mantan lurah dan mantan sekretaris desa sudah jadi narapidana, antara 2002-2003, tampak kegiatan warga Cibenda dalam meneruskan perjuangan pembaruan agraria menjadi merosot. Para petani seolah-olah tidak menemukan semangat dalam memperjuangkan kelanjutan proses pengurusan kepastian kepemilikan tanah. Semoga semangat kepioniran warga Cibenda dalam konteks pembaruan politik kabupaten Ciamis ini tak dapat dibandingkan dengan “obor karari”, sebuah pepatah bahasa Sunda yang melukiskan semangat perjuangan kini memang sudah selayaknya mereda ...
Untuk mencegah kemungkinan semakin merosotnya semangat warga penggarap dari Cibenda, Arif bersama dengan para tokoh petani Cibenda beserta para pendamping yang lain berinisiatif untuk membuka jaringan SPP dengan mengikutsertakan para petani dari desa-desa lain yang juga menghadapi masalah tanah, seperti desa Selasari yang bertetanggaan dengan Cibenda. Di Selasari, para petani menghadapi masalah di mana tanah garapan mereka diserobot oleh PT Perhutani, padahal mereka selalu membayar pajak setiap tahunnya. Dari Selasari jaringan diperluas ke desa Bangunkarya dan Kalijaya, yang juga berhadapan dengan ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak kehutanan. Upaya membuka dan memperlebar jaringan SPP ini dilakukan sekaligus untuk menanggapi masalah-masalah ketidakadilan agraria yang telah lama diderita oleh masyarakat pedesaan di Ciamis. Dalam jangka waktu sekitar empat bulan dapat dijaring 100-an orang warga SPP baru dari desa Selasari (kec Parigi), 300-an dari desa Kalijaya (kec Banjarsari), 600-an dari desa Bangunkarya (kec Langkaplancar). Tanggapan para petani yang memiliki konflik tanah pada umumnya sangat positif karena memang selama ini mereka mengalami masalah-masalah agraria yang tak berbeda satu sama lain dan karenanya langsung menawarkan rasa kesenasiban dan tak menunggu waktu lagi untuk bersedia bergabung.
Ada hal positif lain yang layak dicatat di sini. Pada masa akhir ketika Ikin Risdianto [1958] (2004-sekarang), anggota PDI-P dari anak cabang kecamatan Parigi, menjadi lurah desa Cibenda, kepentingan para penggarap cukup teperhatikan. Tak seperti lurah sebelumnya, pak Ikin meneguhkan para penggarap boleh mengolah tanah tanpa ada gangguan. Kecuali itu, sekarang sudah ada peraturan desa bahwa semua warga negara wajib menjaga lingkungan, termasuk akan memberikan sanksi pidana kepada warga penduduk yang tidak menjaga kelestarian lingkungan, misalnya menangkap dan mengonsumsi penyu beserta telor-telornya dari kawasan pasir pantai desa ini.
Peranan lain yang hendak dimainkan oleh warga penggarap Cibenda adalah masuk ke dalam sistem politik dengan mencalonkan diri menjadi wakil rakyat di tingkat kabupaten. Namun, usaha kang Nanang untuk menjadi anggota DPRD Ciamis belum membuahkan hasil. Pada pemilu 2004 kang Nanang mencalonkan diri dengan mengambil satu-satunya peluang yang tersedia dalam Partai Demokrat (PD). Suara warga SPP dari Cibenda banyak tersalur lewat PD. Namun, dari warga SPP yang lain di luar Cibenda, suara SPP masih lebih banyak tersalur ke PDI-P, sehingga kang Nanang belum lolos mengumpulkan suara secara memadai. Selama ini memang SPP dikenal telah berhubungan erat dengan PDI-P sehingga suara masyarakat SPP masih lebih banyak tersalur ke partai berlambang banteng itu. Penegasan dari pihak sekretaris jendral SPP Agustiana untuk kang Nanang tampaknya belumlah terdiversifikasi dari tak perlunya SPP hanya mendukung PDI-P pada tingkat antar-kabupaten. Sebab, bukankah yang lebih penting adalah sejauh mana para wakil rakyat itu sungguh mendukung program pembaruan agraria yang mendahulukan kepentingan petani daripada sekedar berulah dengan politik partai yang belum tentu lebih jelas prioritasnya untuk petani di kabupaten ini?
Namun, dari segi lingkungan ada titik kecil terang yang menggembirakan. Meskipun kerusakan lingkungan di kawasan ini masih merupakan keprihatinan yang mendalam, ada warga SPP dari Cibenda yang memulai kegiatan menangkarkan penyu, binantang laut yang dewasa ini sangat terancam keberadaannya, sehingga sudah dicanangkan oleh pemerintah sebagai binatang laut yang dilindungi oleh hukum. Musuh utama mereka ini tentu saja adalah warga desa yang tinggal di sekitar kawasan ini karena selama bertahun-tahun dalam setiap bulannya puluhan ekor penyu ditangkap penduduk dan dijadikan bahan makanan, dan telornya disantap. Populasi penyu sekarang sudah sangat langka. Seorang warga desa Cibenda, Saefudin, berbesar hati bersedia memanfaatkan sisa hidupnya untuk menawarkan kegiatan berguna yang dapat disumbangkannya kepada masyarakat. Sejak 2000 Saefudin mulai menangkar penyu dengan cara membeli telor-telor penyu yang ditemukan penduduk setempat di sepanjang pasir pantai di kawasan ini. Telor-telor itu lalu diletakkan dalam tempat khusus berupa bak pasir dan ditungguinya sampai menetas. Kemudian penyu-penyu itu dipeliharanya sampai usia dapat mencari makan sendiri dan siap disapih ke dalam laut lepas. Sampai Juli 2005 ini Saefudin telah melepaskan lebih dari 400 ekor penyu ke habitatnya. Bupati Ciamis dan BKSDA telah bersedia mengganti seluruh pengeluarannya untuk kegiatan penangkaran ini. Dalam peresmian penangkaran ini pun Bupati Ciamis hadir merestui kegiatan warga Cibenda yang bertahun-tahun telah meringkuk di penjara Nusakambangan karena kegiatannya dalam memalsukan uang pada masa silam.
Perkembangan positif lain terjadi di antara warga desa Cibenda, yaitu usaha untuk mendapatkan lahan tanah di areal terlantar dari PT Perhutani yang selama ini tak lagi terawat tapi terletak di tetangga desa Selasari. Tanaman pohon jati di Selasari semula juga ditanam oleh warga masyarakat setempat sendiri. Warga desa Selasari adalah rekanan gerakan tani dari warga Cibenda yang selama ini telah saling mendukung satu sama lain. Sejak 2002 sampai 2005 sudah terdapat 20 warga desa Cibenda yang membuka hutan jati terlantar di desa itu dan menggarapnya dalam keluasan sampai mencapai 90x150 meter (13.500 m). Target maksimal yang mereka sasar: diharapkan dapat menggarap sampai seluas dua hektar. Di antaranya, mereka menanam pisang, petai, kelapa, alpukat, jengkol. Hutan jati ... semula, sudah tidak diurus oleh PT Perhutani, masyarakat sendiri yang duhulu menanam pohon-pohon jati.
Identitas dan tantangan. Di satu sisi, di antara semua anggota SPP, tampak jelas bahwa karakter masalah tanah yang dihadapi oleh warga desa Cibenda pada dasarnya “berbeda” dari yang lainnya. Hampir semua organisasi tani lokal SPP di Ciamis memfokuskan diri pada perjuangan melawan ketidakadilan agraria yang dilakukan oleh Perhutani dan atau perusahaan perkebunan. Sementara, warga Cibenda sudah akan harus mengambil pilihan jalan hukum perdata untuk menggugat para pemegang semua sertifikat palsu. Akibatnya, dalam konteks keterlibatan jaringan solidaritas SPP di Ciamis dalam melanjutkan perjuangan pembaruan agraria, warga Cibenda jadi merasa “terkucil dan tersingkir”. Warga Cibenda tak bisa total ikut serta dalam pilihan perjuangan yang dilakukan oleh mayoritas anggota SPP.
Di sisi lain, dalam konteks kesadaran pembaruan agraria untuk seluruh SPP, kiranya terdapat keraguan untuk total mendukung perjuangan masalah tanah warga Cibenda. Mengapa demikian? Pertama, karena di BPN Ciamis sendiri status sertifikat palsu itu dinyatakan “dibekukan”, yang artinya tidak dapat dipersoalkan pemberesannya di kantor tersebut. Kedua, masih terdapat beberapa gagasan kontra untuk pengajuan kasus gugatan hukum. Untuk yang terakhir ini terdapat dua sinyaleman yang perlu diperhatikan, yaitu pertama adalah banyak dan mahalnya biaya pengurusan tindak hukum menggugat para pemilik palsu dan BPN Ciamis yang merekayasanya, dan kedua, terdapat kekhawatiran terhadap penilaian hukum bahwa hasil proses hukum di pengadilan terhadap para terdakwa kasus pemalsuan sertifikat itu sudah “kedaluarsa” dan karenanya tak layak menjadi dasar dari penggugatan terhadap tak sahnya kepemilikan tanah tersebut berdasarkan semua sertifikat palsu. Kedua hal ini menyebabkan proses maju dalam perjuangan pembaruan agraria jadi mandek. Sementara itu, bagaimana pun, warga desa Cibenda tetap berharap agar upaya hukum menuju kepastian penguasaan tanah dapat difasilitasi oleh para pendamping SPP. Namun, tentunya realisasi harapan ini terpulang pertama-tama kepada para petani Cibenda sendiri, meskipun para pendamping mendapatkan mandat yang besar dan sangat terhormat untuk segera bersikap dan mengambil langkah belajar dari berbagai kegagalan dalam perjuangan menyeimbangkan antara dimensi politik dan dimensi ekonomi dari perjuangan pembaruan agraria.
Dari dimensi ekonomi dari pembaruan agraria dalam kenyataan yang dihadapi oleh para petani penggarap dari Cibenda, sekarang ini terasa adanya kelemahan yang semakin mengendurkan perjuangan. Ini karena keadaan ekonomi di Cibenda tampak semakin memprihatinkan. Semula para petani sempat mendapatkan dana kredit usaha tani total sebanyak dua kali dari pemerintah. Yang pertama tahun 1999, yang kedua 2002. Total dana sebesar Rp 400 juta. Dari dana ini sampai sebesar Rp 100 juta digunakan untuk menyokong berbagai aksi mobilisasi selama kasus pemidanaan para tokoh petani pasca peristiwa pembakaran. Sisanya dimanfaatkan untuk membangun koperasi. Semula koperasi berkembang dengan bagus, bahkan ada warga Cibenda yang memindahkan tabungan mereka di sebuah bank komersial ke dalam koperasi warga penggarap. Namun, setelah peristiwa pengkriminalan dan pemenjaraan para pengurus organisasi, urusan koperasi menjadi terbengkelai. Uang kredit pun banyak yang dipakai untuk kepentingan mendukung biaya transpor aksi solidaritas mendukung para tersangka. Akibatnya, kini banyak penghutang yang tidak sanggup membayar angsuran, tampaknya juga karena ada anggapan bahwa dana KUT itu tak usah dikembalikan sebab tak ada bedanya dengan hibah. Tentunya anggapan ini keliru, sebab dalam ekonomi yang paling wajar sekali pun, uang yang tak dipertanggungjawabkan dengan seksama justru akan menjadi sebab dari kehancuran kegiatan usaha ekonomi secara keseluruhan, dan tak urung sikap ini akan menghancurkan dan memandekkan mobilitas kegiatan koperasi di Cibenda. Memang sudah sebanyak Rp 170 juta dikembalikan kepada pihak bank sampai awal 2005, namun dari perimbangan seluruh alokasi dana KUT itu sendiri dapat diuji lagi secara sehat apakah memang sudah sejak semua para petani penggarap di Cibenda tidak terbiasa dengan menjadi mandiri dalam hal keuangan?
Dari segi budaya, tampak pula adanya mentalitas “panyawah” (pembantu) yang terasa sangat memprihatinkan di antara para warga petani penggarap Cibenda. Hal ini dinyatakan oleh seorang pendamping organik dari desa Cibenda sendiri. Ada yang perlu disampaikan di sini sebagai catatan bahwa dalam konteks perjuangan pembaruan agraria, pendekatan “mentalitas” dapat digolongkan sebagai “tak selayaknya”, sebab tradisi pembaruan agraria lebih mengutamakan pendekatan struktural. Dalam jangka dekat, bagaimana pun, tampaknya warga Cibenda suatu ketika perlu melakukan analisis kekuatan dan kelemahan dalam konteks sosial ekonomi, untuk mendapatkan cadangan kekuatan ketika sedang berhadapan dengan keadaan kritis dari segi internal. Kembali kepada persoalan “mentalitas”, mayoritas (berapa persen sih banyaknya?) para penggarap dan anggota SPP ini adalah buruh tani yang mengerjakan tanah orang dengan cara bagi hasil 50:50 persen (maparo), bahkan tak sedikit di antara mereka mendirikan rumah tinggal di atas tanah milik orang lain. Yang pertama, skema maparo itu dipilih oleh warga Cibenda karena dilatarbelakangi oleh sempitnya lahan tanah yang selama ini mereka garap. Yang kedua, untuk soal rumah pun mereka berada di atas tanah milik orang lain; si pemilik tanah kadang sudah terbiasa menyuruh-nyuruh para penggarap ini seolah-olah budak-budak mereka, dan para penggarap tak bisa tidak terpaksa melakukan perintah dan asal perintah dari “para tuan tanah” itu sekalipun misalnya si petani sendiri sedang sakit keras. Ini mereka lakukan karena mereka merasa berhutang budi kepada pemilik tanah telah membolehkan tinggal di atas tanah mereka tanpa membayar sama sekali. Gabungan sistem maparo dan tak memiliki rumah di atas tanah sendiri ini menjadi akar dari adanya mentalitas “panyawah” yang pada gilirannya mempersulit kinerja organisasi ketika para warga penggarap di Cibenda ditantang untuk berdiri sendiri, apalagi sekarang ketika para pendamping SPP pun semakin jarang datang melakukan intervensi ke desa ini sebab mereka bingung untuk menawarkan alternatif-alternatif.***
0 komentar:
Posting Komentar