Kamis, 20 April 2006
P Bambang Wisudo
Ridwan Saefudin (34) menghabiskan hari-harinya di Sarimukti, desa di ketinggian 1.500 meter di kaki Gunung Papandayan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kehidupan ingar-bingar sebagai vokalis grup musik rock telah ditinggalkannya. Ridwan memilih menjadi guru, tanpa memperoleh bayaran, di desa yang sunyi dan miskin.
Selepas SMA, Ridwan, yang sering dipanggil kawan-kawannya dengan nama Ince, melanjutkan pendidikannya di sebuah akademi komputer di Bandung. Baru setahun kuliah, ia tergila-gila pada musik rock. Bersama empat kawannya ia membentuk grup musik rock Kalimanjaro dan mengambil posisi sebagai vokalis.
Ridwan pernah lima kali terpilih sebagai vokalis musik rock terbaik di Jawa Barat. Kalimanjaro sempat mewakili Jawa Barat dalam festival musik rock Indonesia Emas 1995 di Bandung. Dalam seminggu, rata-rata grup ini paling tidak tampil tiga kali. Grup ini sempat sekali masuk dunia rekaman sebelum krisis ekonomi menghantam pada tahun 1997.
Di tengah glamor dunia panggung, Ridwan tetap memiliki hati pada kalangan bawah. Ia senang bergaul dengan petani. Tiap kali ada order di panggung, grup musik itu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk dana sosial. Ia sempat ditegur manajernya karena tetap bergaul dengan orang-orang kecil yang dikhawatirkan bisa merusak pasaran. Teguran itu tidak dihiraukannya.
"Dari dulu saya berteman tanpa memilih-milih," tutur Ridwan.
Bersama sejumlah artis asal Garut, ia ikut berjuang untuk membentuk Gedung Kesenian Garut. Sejak itu Ridwan tumbuh menjadi aktivis. Ia bergabung dengan Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut, sebuah organisasi yang berafiliasi dengan Serikat Petani Pasundan.
Tidur di sekolah
Pelan-pelan ingar-bingar panggung musik rock ditinggalkannya. Pada tahun 1998, ia bergabung menjadi aktivis Serikat Petani Pasundan (SPP), bergulat dengan petani miskin dan tak bertanah. Ia kemudian ditunjuk memperkuat divisi pengembangan ekonomi rakyat Yayasan Pengembangan Masyarakat (Yapemas), sebuah organisasi nonpemerintah yang dibentuk SPP.
Ridwan sempat cuti dari kegiatannya sebagai aktivis sesaat setelah ayahnya meninggal pada tahun 2001. Ketika balik ke SPP, organisasi itu sedang membahas rencana mendirikan sekolah anak-anak petani di Desa Sarimukti, sekitar 18 kilometer dari kota Garut. Ridwan menyatakan keinginannya untuk bergabung.
Selama setahun Ridwan mengamati bagaimana rekannya, Boy Fidro, mengajar Matematika di depan kelas. Ia duduk di belakang. Sesekali ia diminta ke depan untuk ikut memberi penjelasan. Dengan cara itulah Ridwan belajar menjadi guru. Ketika anak-anak itu naik ke kelas II, Ridwan diberi kepercayaan penuh untuk mengajar. Kini Ridwan menjadi salah satu penentu arah pendidikan Madrasah Sururon.
"Saya masih sering mendapat SMS dari kawan-kawan lama, mengajak saya main band lagi. Tetapi, lebih baik saya tetap di sini bersama anak-anak," kata Ridwan.
Almarhum ayahnya pernah berharap agar Ridwan meneruskan jejak orangtuanya menjadi guru. Ayahnya kepala sekolah sebuah SD negeri di Garut. Ayahnya sempat kecewa ketika Ridwan melanjutkan ke SMA, bukannya SPG.
Lulus SMA, ayahnya menginginkan Ridwan melanjutkan sekolah ke IKIP, tetapi ia malah melanjutkan kuliah ke sekolah tinggi komputer dan putus sekolah. Meski pernah menolak menjadi guru, Ridwan akhirnya meneruskan jejak ayahnya. Terdampar menjadi guru di sebuah desa terpencil.
Tiap malam Ridwan tidur di sekolah, menggelar kasur tidur di ruang kelas. Kadang-kadang ia ditemani beberapa murid dan warga. Ridwan tidak memiliki penghasilan tetap. Sebagai guru ia tidak dibayar. Ia makan di rumah kepala sekolah atau di rumah warga yang mengundang. Tiap libur sekolah, ia kembali ke rumah kontrakannya di Garut, tanpa membawa gaji. Beruntung istrinya, Yani Srimulyani (31), seorang aktivis. Anaknya, Ridho Bat’hielda, baru berumur empat bulan.
"Selama enam bulan, saya mendapatkan bagian honor Rp 200.000. Kadang-kadang tidak ada sama sekali. Kadang-kadang saya pulang dibekalin sayur oleh kawan-kawan petani. Mudah-mudahan saya bisa bertahan cukup lama sampai sekolah ini bisa menunjukkan keberhasilannya," tutur Ridwan.
Ketika tidak ada ongkos sama sekali, Ridwan harus menyetop truk mencari angkutan gratis dari kota Garut menuju Sarimukti yang berjarak sekitar 18 kilometer. Tidak jarang ia berjalan kaki sendirian selama tiga jam saat tidak ada kendaraan yang mau berhenti.
"Dulu saya sering dielu-elukan, berhura-hura, tetapi di sini justru saya memperoleh banyak hiburan. Di sini saya menemukan apa yang selama ini saya cari," ujar Ridwan.
0 komentar:
Posting Komentar