Sementara wartawan Bambang Wisudo dengan jeli melihat inovasi yang dikerjakan dengan teliti oleh Boy Fidro sebagai "salah satu perintis sekolah petani" dan semua pegiat kemerdekaan petani di Garut. "Bodoh" dan "nyangkul" adalah dua cap setali tiga uang dari diri petani terhadap diri mereka sendiri. Dan cap itu sangat membekas dan karenanya membuat para petani gagap menghadapi kenyataan ketakadilan. Itu sangat disadari oleh para petani miskin tak bertanah. Dan beban itu tak hendak mereka bayangkan juga (akan terus) dipikul oleh keturunan mereka. Petani bisa jadi yakin bahwa pendidikan adalah jalan menuju perbaikan keadaan dan syukur-syukur "lebih adil", kalau tak bisa "total keadilan".
Maka kita bisa bertanya ulang: Benarkah "mencangkul tanah itu bodoh"? Rasanya alat cangkul yang bobotnya hanya satu setengah kilo itu kini jadi 10 kilogram. Berat amat ya .. Bagaimana menurunkan bobot cangkul ketika petani tidak sekuat Ade Rai (setidaknya tampilannya)?
Pertanyaan berikutnya: "Apakah sekolah (selalu) sejajar dengan "berilmu"? Ada mitos lain yang mengendap dalam benak banyak pikiran orang. Syukurlah di sini Boy Fidro angkat suara: "Sekolah ini dibangun di atas komunitas dan lulusannya akan kembali bekerja untuk memenuhi kebutuhan komunitas. Kami tidak ingin menjadi sekolah yang hanya mengajarkan ILMU untuk pergi (jadi buruh atau pembantu rumah tangga di kota").**
1 komentar:
liputan yg bagus
Posting Komentar