Para murid, guru, dan para petani orangtua serta wali mereka, semuanya duduk membahas berbagai masalah bersama dalam musyawarah perencanaan pendirian SMP Plus Pasawahan, Ciamis, Jawa Barat, Juni 2003.
“Di sakola mah teu diajarkeun elmu balik.”
(=Di sekolah itu tidak diajarkan ilmu pulang.)
SEBUAH kalimat yang keluar dari Abah Saud, seorang petani dari desa Pasawahan yang terlibat aktif dalam pendirian sekolah kami. Kalimat tersebut diucapkannya waktu mengikuti musyawarah perencanaan pendirian sekolah SMP Plus Pasawahan, Ciamis, Jawa Barat, Juni 2003. Sekolah yang didirikan atas inisiatif masyarakat ini memiliki cita-cita luhur untuk mendidik dan mengembangkan kemampuan jiwa dan raga dari anak-anak petani miskin di kawasan pedesaan di sekitar wilayah kami.
Yang dilakukan anak-anak di sekolah adalah belajar, tapi juga bertani di sekolah dan juga bermasyarakat dengan titik tolak dari sekolah. Sekolah “plus” ini pada dasarnya mengembangkan pendidikan yang tidak memisahkan diri dari masyarakat. Justru sebaliknya: berintegrasi di dalam lingkungan masyarakat. Sekolah hanya berarti dan “berbatas” ketika anak-anak membutuhkan ruang kelas untuk berdiskusi dan musyawarah atau ketika mereka mempelajari materi pelajaran yang membutuhkan papan tulis dan berteduh. Karenanya, seperti kata Abah Saud, tidak ada “ilmu pulang” diajarkan di sekolah. Sekolah adalah tempat di mana kami semua “pulang”. Kami sangat mencintai sekolah kami ini, seperti kami juga mencintai kampung halaman asal kami.
WAKTU belajar anak-anak mulai hari Senin s.d. Kamis pukul 08.00 s.d 15.30; Jum'at: 08.00 s.d 11.00. Evaluasi, refleksi dan perencanaan pertanian, pukul 12.45 s.d 16.00 pertanian di lahan kolektif dan individu.
Hari Sabtu dari pukul 08.00 s.d 12.00 dikembangkan kegiatan olah raga; kemudian dari jam 13.00 s.d 16.00 dilakukan pendidikan dengan model diskusi, wawancara, dan konsultasi pertanian dengan para petani.
Hari Minggu mereka membantu kegiatan pertanian wali mereka (sekaligus bapak kos), di mana mereka tinggal. Malam hari mereka mengaji di surau-surau. Apabila ada pertemuan organisasi tani terdekat (sebagai bagian dari Serikat Petani Pasundan) mereka juga terlibat aktif.
Lahan usaha tani para siswa, Juni 2006
SELAIN hal itu, di dalam kelas juga dibangun hubungan kekeluargaan di antara para siswa-siswi dan guru. Hubungan kami dengan siswa sebagai kawan bermain dan kakak, sehingga mereka tak segan-segan mengungkapkan beberapa persoalan pribadi dalam diri siswa dan meminta bantuan dalam menyelesaikannya.
Kurikulum yang kami gunakan adalah Kurrikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang ditentukan oleh dinas pendidikan. Hanya untuk materi pembiasaannya adalah pertanian dan organisasi, dengan metode partisipaitf.
Dalam seluruh metode pendidikan yang kami kembangkan ini, guru adalah orang yang memfasilitasi murid-murid dalam belajar sehingga mereka merasa nyaman, supaya kecerdasan yang dimiliki siswa berkembang. Karena setiap siswa memiliki kecerdasan yang berbeda-beda (tidak seragam), kami selaku pengajar tidak menyamaratakan dan tidak memaksakan anak untuk menyukai segala hal. Yang mereka pelajari tergantung kecerdasan dan minat mereka. Para guru hanya mengarahkan kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing siswa.
Seperti halnya pendidikan di hutan rimba yang para siswanya terdiri dari harimau, kelinci, kera, burung, ikan, kucing, tidak mungkin dalam pelajaran berenang semua siswanya harus bisa berenang. Jika dipaksakan, maka sang kera, kucing, dan burung harus belajar mati-matian tanpa hasil. Malah akibatnya kera tidak akan mampu memanjat pohon dan sekaligus tidak akan bisa renang. Begitu juga kucing dan burung tidak akan bisa terbang. Itulah sebabnya mengarahkan anak pada kecerdasan yang dimiliki tidak seperti memaksa kera untuk mampu berenang, tetapi memberikan pelajaran bagaimana memilih pisang yang baik dan seterusnya … ***
Eful
Guru Pertanian dan IPA
SMP Plus Pasawahan, Ciamis, Jawa Barat
Kami tunggu komentar teman-teman sekalian.
0 komentar:
Posting Komentar