2006-07-07

Guru pun tidak Terima Gaji (SK Pikiran Rakyat, 2 Mei 2006)


YOSEF Nurhadiyat (14), semula tak membayangkan akan mengenyam pendidikan di tingkat sekolah menengah pertama (SMP). Maklum saja, keluarganya di Bangunkarya, Kec. Sukadana, Kab. Ciamis, sangat miskin. Jangankan untuk menyekolahkan anaknya, untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja susah sekali.

Tapi Yosef bersyukur, karena di Desa Pasawahan, Kec. Banjarsari, Kab. Ciamis, telah dibuka SMP Plus. Informasi yang diterima oleh keluarga Yosef, sekolah di SMP ini gratis, tidak harus pakai seragam, tidak harus pakai sepatu. Bahkan, si anak akan ngaji dan diajari cara bertani modern buat sandaran hidup di masa yang akan datang.

"Ayah saya tetarik untuk menyekolahkan saya ke SMP Plus Pasawahan. Sehingga, dua tahun lalu saya mulai belajar di SMP ini. Ternyata senang sekali belajar di sekolah ini, tanpa dibebani biaya sepersen pun, tapi banyak manfaat yang saya rasakan," kata Yosef yang saat ini duduk di kelas dua.

Manfaatnya, selain bisa ngaji, ia juga pintar bercocok tanam, nyangkul, membuat pupuk organik dan lainnya. Termasuk, pintar main kesenian tradisional calung.

Di puncak gunung

SMP Plus Pasawahan saat ini baru dua kelas dengan jumlah murid kelas satu 25 anak dan kelas dua 37 siswa. Lokasinya berada di sebuah puncak Gunung Cipicung, yang terletak sekira 70 km dari kota Ciamis, ke selatan daerah Banjarsari. Dari Banjarsari naik ke gunung, dengan menumpuh perjalanan cukup berat.

Menurut Agustiana, Sekjen Serikat Petani Pasundan (SPP), sekolah ini dirintis mulai tahun 2003 oleh masyarakat, aktivis pergerakan dan SPP. Sedangkan, mulai menerima murid yaitu sejak tahun 2004 lalu.

Ada beberapa pertimbangan, membangun sekolah di daerah ini. Pertama, untuk memberikan kesempatan kepada anak petani miskin bisa menikmati pendidikan lanjutan setelah tamat SD. Kedua, mempersiapkan anak-anak petani terdidik dengan memiliki keterampilan tani yang baik dan modern. Sehingga, pada akhirnya mereka menjadi pelopor di desanya, dalam berbagai bidang, terutama pertanian.

"Lokasinya, kita pilih di Pasawahan, karena daerah itu paling jauh dan banyak anak-anak tidak bisa melanjutkan sekolah. Di daerah itu ada enam SD. Sebagian besar tak mampu melanjutkan, karena ke SMP sangat jauh dan juga miskin. Makanya, kita bangun sekolah di daerah itu," jelas Agustiana.

Bangunan sekolah didirikan empat ruangan, dibangun dengan cara gotong royong bersama masyarakat setempat. Sedangkan, guru yang mengajar 12 orang di antaranya, lulusan berbagai perguruan tinggi, seperti dari Univeritas Galuh, ITB, Unpad dan lainnya. Mereka sama sekali tidak diberi gaji. "Murni pengabdian," katanya.

Guru SMP Plus Saeful dan Haslinda, ketika ditemui oleh "PR" di sela-sela memberikan pelajaran, mengemukakan, siswa di sekolahnya belajar dengan lesehan. Mereka bebas menggunakan pakaian ke sekolah, baik mau pakai se-ragam atau tidak. Begitu juga, boleh beralas kaki atau sama sekali telanjang. "Namun anak-anak itu kami rangsang untuk kreatif serta berani dalam mengemukakan pendapat. Kita memosisikan derajat dengan mereka sama," kata Saeful jebolan sarjana pendidikan ini. (Undang Sudrajat/"PR")***

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Dear Redaksi,

Perkenalkan, saya Cecep Risnandar, redaktur pelaksana tabloid Pembaruan Tani, sebuah terbitan milik FSPI. Membaca blog Masa Depan Petani, saya tertarik dengan tulisan "Bersekolah, bertani dan bermasyarakat". Saya berniat memuat tulisan tersebut di tabloid kami. Mohon kiranya saya bisa mendapatkan kontak langsung penulisnya, email atau telpon.

Apabila tulisan tersebut dimuat, ada imbalan secukupnya bagi penulis (tidak besar tapi cukup buat ongkos ngetik). Untuk konfirmasi, tolong hubungi saya di: pembaruantani@fspi.or.id

salam hangat,
cecep risnandar

Anonim mengatakan...

Insya Allah amal ibadah yang kalian tunjukkan, akan merupakan amal saleh, dan kalian dikuatkan untuk meneruskan usaha yang mulia ini.