Dalam foto pak Oman tampak sedang membawa bibit padi di atas kepalanya. Sedang kang Tholib sedang menggaris lahan sawah dengan caplak jarak tanam.
Mereka menanam varietas padi Pandanwangi, yang didapatkan dari Mas Eddy Suhermanto, petani organik kawakan dari Sleman, Yogyakarta. Pak Oman menerapkan jarak tanam 28 x 28 sentimeter. Satu titik satu tanaman. Sangat berbeda dengan metode konvensional yang sebelumnya mereka terapkan.
Metode intensif dalam menanam padi ini telah dikenal oleh banyak petani di berbagai penjuru dunia sebagai metode yang memungkinkan peningkatan hasil panen. Bisa sampai dua kali lipat, begitu kata si penemunya sendiri Henri Laulanie, S.J.
Selama ini, karena keterbatasan pengalaman mereka dalam bertani, hasil panen padi rata-rata hanya mencapai 3,5 ton per hektar. Pada umumnya petani SPP memiliki lahan sawah seluas 200 bata (1 bata ~ 14 meter persegi). Hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan makan keluarga sendiri. Belum lagi memikirkan peningkatan hidup yang lain, seperti pendidikan anak-anak, peningkatan produksi hasil bumi, apalagi untuk kemajuan serikat petani.
Tapi, mengapa hanya dua kepala rumah tangga saja? Padahal metode ini sangat potensial meningkat hasil panen? Dan kepada mereka juga sudah dijelaskan secara gamblang, baik lewat cara-cara lisan, audiovisual, percobaan mini menanam padi dalam pot, dst.? Mengambil resiko, itu tampaknya yang paling berat. Kalau tidak berhasil, bagaimana? Padahal tananam padi itu adalah gantungan hidup mereka.
Atau, karena mereka belum “melihat sendiri” contoh berhasil yang telah dicapai sesama petani. Tapi, dugaan ini kiranya tak benar. Di desa tetangga tak jauh dari Banjaranyar, yaitu desa Kawasen, masih di kecamatan Banjarsari, kami temukan pak Endin, yang telah berhasil mencapai panen sampai 1.200 kg gabah per 100 bata, alias sejajar dengan lebih dari 8,5 ton per hektar, pada musim tanam pertama setelah dia menerapkan metode intensif ini.
Para petani di Bulaksitu ternyata juga mengetahui hal ini, tapi mereka toh tak tergerak atau tertarik untuk mencari tahu lebih jauh, atau lalu kemudian mencobanya sendiri. Atau, misalnya, kalau masih ragu-ragu juga, cukuplah mencoba dalam pot-pot atau karung goni atau dalam bentuk percobaan mini di atas tanah seluas misalnya satu meter persegi (16 atau 9 tanaman padi)?
Semua hal ini tak terjadi begitu saja. Tidak bisa terjadi begitu saja.
Dari perkembangan tahun-tahun berikutnya, pak Endin dan kelompoknya —beranggotakan sekitar 25 orang— ternyata mengambil pilihan tidak meneruskan penanaman padi metode intensif-organik. Mereka tidak lagi memasukkan pupuk sebanyak yang diharapkan. Tentu hasilnya turun, karena proses pemulihan tanah belum tuntas. Memang, masih perlu pengamatan lebih lanjut, sejauh mana tingkat kesuburan tanahnya. Tapi, sebelumnya, mengapa mereka menerapkan metode ini, tampak jelas setelah dibantu oleh pemerintah setempat. Mereka mendapatkan bantuan 25 ekor sapi dan 50 ekor kambing sebagai modal utama pembuatan pupuk.
Namun, penjualan gabah hasil panennya ternyata jeblok. Pada tahun 2003 pak Endin menjual gabahnya seharga Rp3.000 per kilogram ke pasar setempat atau ke juragan yang datang. Pak Endin merasa tidak dihargai sesuai dengan penambahan tenaga kerja dan peningkatan mutu padi atau berasnya. Bantuan pemerintah masih terbatas pada sisi hulu budidaya padi, tapi sisi hilir atau intervensi pemasaran sama sekali tak ada. Nasib pak Endin dan kelompok kembali jadi menggantung. Itu sebabnya, mereka tak lagi meneruskan penanaman padi intensif-organik.
Kalau begitu, dapat dimengerti mengapa pak Oman dan kang Tholib begitu lambat memulai penanaman motode baru ini.
Malah sesungguhnya kang Tholib menerapkan metode ini masih terbatas hanya untuk seluas 75 bata lahan sawahnya. Sisanya masih dengan metode konvensional. Satu titik ada yang ditanamkan sebanyak tujuh tanaman padi. Padi-padi itu jelas masih akan merana. Apa jawab kang Tholib ketika ditanya mengapa tidak sekalian padi di lahan sawah sisanya diintensifkan? “Ah, malas,” katanya singkat, tanpa penjelasan apa pun yang lain. Ia tak tersenyum, tak bergeming. Singkat dan jelas, “Malas.” Titik.
Pesannya jelas, di sini. Pengelolaan dari hulu sampai hilir diharapkan lebih akan menjamin keberlanjutan peningkatan kesejahteraan. Jika setengah-setengah, maka hasilnya juga setengah-setengah.**
0 komentar:
Posting Komentar