Tapi itulah yang terjadi dan lama telah dicoba dan dipraktikkan. Barangkali bukan terutama oleh para petani, tapi orang-orang yang terus mencari kedalaman pemahaman hubungan dirinya dengan alam, seperti Masanobu Fukuoka yang kemudian mewariskan hasil pergulatannya kepada banyak sekali pengagum dan penentangnya.
Fukuoka-san jelas-jelas menegaskan bahwa untuk menerapkan pertanian alami, tanah atau lahan nyaris dilarangnya untuk dibajak. Jika dibajak, lahan justru akan sangat terganggu, katanya. Tapi, apa sesungguhnya dasar-dasarnya? Apa alasannya? Mengapa lahan tak perlu dibajak atau bahkan ‘didhangir’ jika kita pinjam istilah bahasa Jawa?
Dalam posting berikut dapat teman-teman baca tulisan dari Robyn Francis berjudul 'Tanah yang Hidup'. Ia berusaha menjelaskan pengandaian yang ada di belakang pergulatan Fukuoka-san, yaitu bahwa tanah memiliki kapasitas untuk menyuburkan dirinya sendiri. Tapi, apa syaratnya? Inilah yang kiranya dijelaskan oleh Robyn, seorang pegiat pertanian permanen atau dalam istilah kita sementara ini barangkali dapat kita pinjam kata Sunda ‘tetanèn’.
Francis berasal dari Australia. Ia bekerja sebagai perintis, pegiat, perancang, pendidik dan presenter untuk konsep dan praktik permakultur-tetanèn. Ia juga menjadi tutor utama pada Erda Institute, sebuah lembaga yang bekerja untuk memajukan pertanian-permanen itu. Ia telah bekerja selama 25 tahun di lembaga itu dalam mengembangkan permakultur-tetanèn di berbagai negara termasuk Indonesia. Tahun 1987 Robyn mendirikan Permaculture International Ltd (PIL) dan merancang serta membangun Kebun Djanbung sebagai sebuah pusat pengembangan yang terkemuka dalam permakultur-tetanèn. Di negerinya pusat ini juga diakui menjadi lembaga acuan nasional karena telah mengembangkan pelatihan-pelatihan permakultur-tetanèn dengan akreditasi bertaraf internasional.
Tunggu segera saja saat unggahnya ya ..
Links
Erda Institute
Djanbung Garden
Permaculture International Ltd
0 komentar:
Posting Komentar