2010-03-27

"Masalah Tanah" menurut Kepala BPN Joyo Winoto

Teman-teman, barangkali lebih baik terlambat daripada tidak menyadari sama sekali apa sesungguhnya pemahaman pemerintah kita tentang ketakadilan kepemilikan tanah dan bagaimana caranya menyelesaikan. Dapat kita timbang-timbang ke mana bobotnya dan tanggapan pemerintah sendiri. Menurut hemat kami, justru masalah hambatan birokrasi pertanahan tidak disasar sebagai masalah inti dalam pendekatan strategis yang diangkat oleh Kepala BPN Joyo Winoto.

Cobalah teman-teman baca sendiri dari teks yang kami sajikan berikut ini, tapi ini baru sebagian dari keseluruhan tulisannya. Khusus kami kutipkan pada identifikasi masalah yang ditengarakan. Inilah pusat dan putar masalahnya. Jika pemahaman masalah saja tak tepat, maka konsekuensinya juga tak bisa diharapkan tepat pula.

Nah, baru-baru ini kami temukan tulisan menarik dari Kepala Badan Pertanahan Negara Joyo Winoto. Jika diindonesiakan barangkali judulnya adalah "Mengangkat Kebijakan Pertanahan dan Administrasinya di Indonesia ke Tahap Berikutnya dalam Rencana Strategis dari Badan Pertanahan Negara". Tulisan sepanjang 24 halaman A4 ini dipresentasikan di suatu konferensi yang diselenggarakan antara Bank Dunia dan Federasi Internasional dari Para Surveyor, bertemakan: "Kepemerintahan Tanah untuk Mendukung Millenium Development Goals: Menanggapi Tantangan-tantangan Baru", Maret 2009.

Artikel ini dapat diunduh dengan klik di sini.

Masalah-masalah kritis dalam ekonomi politik Indonesia adalah kemiskinan, pengangguran, ketidakmerataan distribusi pendapatan, dan sengketa atau konflik tanah. Sekitar 34,9 juta warga (atau 14,4%) hidup di bawah garis kemiskinan. Dari antara mereka ini, sebanyak 66 persen tinggal di daerah perdesaan. Sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebanyak 56 persen dari seluruh penduduk desa. Mereka yang hanya memiliki sebidang tanah sangat sempit atau tidak memiliki tanah sama sekali sungguh-sungguh hidup dalam kemiskinan dan mereka ini bekerja sebagai buruh tani atau petani gurem yaitu bekerja di atau mengerjakan tanah orang lain atau mereka ini mengerjakan sebidang tanah yang sangat-sangat sempit. Sensus Pertanian 2003 memperlihatkan bahwa hampir separuh dari seluruh keluarga yang hidup atas usaha tani (hanya) menggarap tanah yang luasnya kurang dari setengah hektar.

Rasio pengangguran adalah 10,01 persen atau 23,1 juta orang. Angka pengangguran terselubung jauh lebih tinggi, mencapai 30,36 juta orang atau 27,60 persen dari seluruh angkatan kerja. Sektor industry tidak dapat cukup menyediakan pekerjaan untuk angkatan-angkatan baru yang masuk ke dalam pasar tenaga kerja. Banyak penganggur ditarik masuk ke pekerjaan-pekerjaan di perdesaan, sehingga menggeser rasio luas lahan pertanian dan jumah penduduk. Tanpa peningkatan teknologi yang berarti, perubahan rasio yang kecil saja antara luas tanah dan jumlah warga mengisyaratkan pengurangan pendapatan perorangan dari para petani. Maka, kebanyakan warga miskin bekerja di sektor pertanian.

Dalam distribusi pendapatan, koefisien Gini terus meningkat dari 0,31 pada 1999 menjadi 0,33 pada 2002 dan 0,36 pada 2005. Hal ini mengisyaratkan suatu pelebaran senjang di antara tingkatan pendapatan dari warga miskin dan warga tak-miskin. Dalam konteks distribusi kepemilikian lahan pertanian, angkanya lebih buruk lagi, yaitu sekitar 0,6. Hal ini sebagian disebabkan oleh fragmentasi lahan pertanian keluarga yang terus-menerus terjadi, dan terus disahkannya hak-hak penggunaan tanah bagi perusahaan-perusahaan besar yang sudah memiliki sepersepuluh atau bahkan ratusan ribu hektar luasan tanah. Dari 25 juta keluarga petani, sebanyak 56,5 persen sekarang hanya memiliki setengah hektar. Ketimpangan dalam distribusi kepemilikan tanah menyebabkan munculnya masalah-masalah serius yang lain, terutama munculnya tanah-tanah yang pemanfaatannya sangat rendah (under-utilized), lahan tidur (idle) atau diterlantarkan; mungkin juga dipengaruhi oleh praktik-praktik “penimbunan tanah” atau alasan-alasan yang lain. Namun secara mengejutkan, lahan-lahan tidur atau terlantar itu diperkirakan mencapai 7,3 juta hektar. Ini adalah suatu masalah yang terlalu besar untuk diabaikan.



Semakin bertambahnya kemiskinan dan pengangguran dalam masa setelah krisis mengisyaratkan adanya suatu masalah yang mendasar. Perekonomian telah terus berkembang dari waktu ke waktu, tetapi kemakmuran gagal menetes di antara warga miskin dan para penganggur di tingkat akar rumput, terutama di kawasan perdesaan. Masalah utama tampaknya adalah rapuhnya struktur agraria yang mempersulit kebanyakan petani (petani gurem dan petani tak bertanah) untuk mengakses suatu areal tanah yang secukupnya dan untuk mengakses input-input produktif lainnya, termasuk pelayanan publik. Suatu pembaruan agraria yang serius diperlukan. Dari perspektif Badan Pertanahan Negara RI, suatu pembaruan agraria yang efektif harus direncanakan, dilaksanakan dan pemberian pelayanan-pelayanan publik yang terkait dengan masalah-masalah agraria haruslah ditingkatkan. Pembaruan ini membutuhkan informasi yang akurat dan bersifat kelembagaan serta suatu peningkatan kapasitas.

0 komentar: