2006-07-30

Perpisahanku dengan Sururon

Siti Halimah
Murid MTs Sururon, Garut

Malam ini Sabtu satu Juli 2006.
Malam sangat bersejarah bagi kehidupan siswa-siswi kelas tiga.
Malam ini adalah hari kami harus berpisah meninggalkan Sururon yang sangat kami cintai. Tahun depan kami sudah tidak menikmati hari-hari penuh kebersamaan belajar di Sururon.

Tiga tahun yang silam masih teringat jelas
ketika kami anak-anak petani miskin yang lugu memasuki hari-hari belajar.
Guru-guru membimbing kami saat belajar,
belajar dengan penuh kasih sayang, tanggung jawab dan kesabaran.

Tak lama kemudian badai kekerasan menerpa desa Sarimukti:
Operasi Wanalaga Lodaya.
Separuh dari jumlah kami berhenti sekolah.
Mereka membantu meringankan beban ekonomi orangtuanya.
Mereka banyak menjadi buruh,
mengais sesuap nasi orang.
Ada yang ke kota ada yang mengasuh adik kecilnya.
Mereka tidak menikmati bangku sekolah.
Suram benar masa depannya.
Kenyataan itu menggores hati kami.
Apalagi pemerintah tidak pernah peduli nasib masa depan mereka.
Menanyakan pun tidak.
Kami kelas tiga bersyukur mampu bertahan
hingga detik-detik perpisahan ini
di sekolah ini ..

Kami belajar dan mengenal diskusi.
Belajar bersikap terbuka dan demokratis.
Di sekolah ini kami mengenal evaluasi.
Ketika ada berbagai masalah kami pun belajar mencari solusi.
Sungguh berharga buat bekal kehidupan kami nanti.
Rentang waktu tiga tahun silam
masih terbayang jelas dalam ingatan .
Kami mengangkut pasir dan batu
bersama-sama guru-guru dari kali Cipandai untuk lapangan basket.

Dipikul di pundak beringinan sambil canda tawa.
Guru-guru mencarikan semen.
Dengan kerja sama akhirnya lapangan basket pun selesai.
Dalam rentang waktu itu
kami bersama masyarakat mengangkut pasir dan batu
dari sungai buat jalan.

Rentang waktu tiga tahun lalu
di sekolah ini kami melakukan pendataan masyarakat
yang terjangkit penyakit scabies.
Pernah juga diskusi dengan panitia sebelas,
panitia pemulihan kepala desa Sarimukti.
Pemulihan itu sampai sekarang belum terlaksana
dan perlu dipertanyakan.
Aksi-aksi bersama para petani:
menuntut hak-hak petani
di Jakarta dan Garut kami alami.
Di rentang waktu tiga tahun lalu.

Kami bangga ada yang mampu wawancara ke DPR kabupaten.
Ada juga yang mampu presentasi di universitas-universitas tersohor di Bandung dan Surakarta.
Kami bangga sekolah ini
pernah dijadikan contoh
badan pengembangan pendidikan berkelanjutan.
Katanya program dari perserikatan bangsa-bangsa.
Saat itu kami belajar berpartisipasi.
Terjun ke lapangan dan membuat peta observasi
dan banyak lagi kenangan lain di sekolah ini.

Kini ..
Berat rasanya berpisah meninggalkan
sekolah ini yang penuh kebersamaan,
meninggalkan guru-guru yang rela mengajar tanpa digaji
ketika pendidikan dijualbelikan
dan ketika pemerintah tidak adil
terhadap kami anak-anak miskin dalam bidang pendidikan.

Lebih berat lagi rasanya berpisah jika merenungkan
Nasib apa yang akan menimpa kami.
Tiga tahun lalu jika sekolah ini tidak ada
mungkin kami ada yang jadi buruh,
pergi ke kota atau sudah menikah.
Mungkin di antara kami tamatan SD
yang tidak bisa baca
sampai sekarang tidak bisa baca.

Kalau tidak ada sekolah ini
mungkin kami harus bayar mahal
ongkos pulang-pergi melanjutkan ke SMP terdekat.
Itu pun kalau mampu.
Kami dan orangtua serta masyarakat sangat terbantu.
Mengingat semua itu ..
Air mata pun tak sanggup kubendung lagi.
Di malam perpisahan ini ..

Guru-guruku, maafkanlah kami.
Selama tiga tahun membebanimu dan menjengkelkanmu.
Jasa-jasamu akan selalu kami ingat.
Kami tulis dengan tinta emas
dalam lembaran sejarah hidup kami.

Ya .. Kita memang harus berpisah.
Do’akanlah Siti dan kawan-kawan
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
buat bekal kembali pulang
membangun negeri tercinta ini
membangun tanah kelahiran kami.
Do’akanlah walau di perpisahan ini
tersisa pertanyaan.
Akankah ada di sekolah nanti
guru-guru yang betul-betul tanggung jawab terhadap pendidikan
seperti pak Boy yang rela seminggu tiga hari
dalam setahun seratus kali datang ke sini dari Jakarta.
Yang bertemu dengan istrinya cuma satu hari dalam satu minggu
Juga seperti pak Ince
yang rela jalan kaki ke sekolah ini
dari Panunjuk karena kehabisan ongkos.
Begitu pula pak Anas plus pak Dede
yang rela melayani kami
lès siang malam sepuluh hari sepuluh malam
Dan tidur di kelas.

Akankah ada di sekolah nanti
kebersamaan atau kehangatan dan kecerian
seperti di sekolah ini?
Biarlah kami melangkah dan menemukan jawabnya sendiri
Sekali lagi
terima kasih guru-guruku
Maafkanlah dan do’akanlah kami.**

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Air mata saya membasahi kelopak mata, sepajang dan setelah membaca naskah ini. Mengharukan sekali.

Anonim mengatakan...

sudah jadi ketentuan hidup, ada pertemuan pasti ada perpisahan, ada yang di kenang tapi ada juga yg terlupakan.....!!! tapi tak apa, saya faham...!!!

Anonim mengatakan...

sy harap crew MTS.Sururon bisa kembali ke tujuan awal....., "PERJUANGAN", jangan membelokkan arah yang akhirnya jadi penyebab kehancuran....!!!!
SEMOGA JADI PERINGATAN!!!!!
sekali lagi
"PERJUANGAN"